Senin, 08 Desember 2008
Idul Adha 1429 H
Rabu, 19 November 2008
Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan dan sempat
dipublikasikan lewat media cetak dan electronic.
Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg
cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal
dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah
perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posis manager. Gaji-nya
pun lumayan.
Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang
humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor
senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan
putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus
pada A be.
Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali.
Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang
baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan
belakang. Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti
luka bakar.
Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang
keluarrumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada
keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.
Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan routine
layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah,
pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga
selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya A be.
Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain.
Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk
mengakuinya.
Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita
cacat dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang
ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. "Dia tidak punya saudara, jadi
saya tampung, kasihan." jawab A be.
Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja
Ibunya sedih sekali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit
dalam hidupnya.
Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk
menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan
sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah.
Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mengurusi rumah,
menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan
sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus
menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja
(di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali).
Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah.
Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A be
melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan
potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be.
Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan
koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa pahlawan yang
telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk
erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah
menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang wanita menderita luka
bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak terluka
sedikitpun.
Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa wanita
cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan yang dimaksud dalam
potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang
terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A be menetes keluar
tanpa bisa di bendung.
Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung
bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan
tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini.
Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. "
Yang sudah-sudah nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi".
Setelah sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja
kesupermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap
cuek bebek.Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta
(wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.
sumber :
mailis JPers@yahoogroups.com
Michigan's First Muslim Woman State Lawmaker
"Like many other immigrant Americans, my family too had an American
Dream and today it got materialized," proud Tlaib told IOL. WASHINGTON
— Rashida Tlaib, 32, has made history by grabbing a seat in the
Michigan legislature, becoming the first Muslim woman ever to serve in
the state legislature.
"Allah had chosen me for this job which I did not know before," Tlaib,
the eldest daughter of Palestinian immigrant parents, told
IslamOnline.net in an exclusive interview.
Tlaib, a lawyer and community activist who had never thought of coming
into politics, easily won a seat in Michigan House of representatives
on November 4, the day of the historic White House elections.
She defeated her Republican opponent by a 9 to 1 margin in her
southwest Detroit district, largely populated by blacks and Hispanics.
"My parents had taught me the importance of hard work, honesty and
commitment. And those values today paid me in the form of being
electing to the prestigious position of Michigan State Legislature,
representing a diverse community of Latino, African American and
Arabs," Tlaib said proudly.
Born in Michigan, she is the eldest of her 13 siblings of Palestinian
parents who migrated to the US in the early 1970s.
Her father was born in Beit Hanina, a suburb of Al-Quds, while her
mother was raised in Beit Ur El Foka, near the West Bank city of
Ramallah.
"I had to take care of all of younger brothers and sisters because I
was the first in my family to have earned a high school degree," she
recalls.
"It was a tough task to continue my studies while working full-time."
She also feels indebted to outgoing Democratic Rep. Steve Tobocman,
the majority floor leader.
"I would have never been here today, if my Jewish boss and predecessor
Steve Tobocman had not encouraged me to venture into politics," he
said.
"I got my inspiration from Tobocman who insisted that I must take part
in the elections."
Tobocman had recruited Tlaib years ago to serve as part of his House
staff in recognition of her passion for social justice and ability to
work with people across the political aisle.
He encouraged her to run for his seat because he could not couldn't
seek re-election over term limits.
Myths
Tlaib, who earned her political science bachelor degree in 1998 and
law degree in 2004, believes her election to the State Legislature
debunks many myths.
"There was a lot of propaganda against me in some of the local press
that she is a Muslim extremist and that her election to the state
legislature will send negative signals and that she will work only for
the rights of Muslim community," she remembers.
"But I didn't care and never attacked any of my seven opponents. I
just kept working work. I campaigned door-to-door, and I think it was
my aggressive door-knocking campaign of around 8000 families that paid
me back a lot."
Tlaib said the voters were interested in her commitment for the social
service and not to her religious or ethnic background.
"There were only 2 percent Arab Muslims in my constituency. Majority
of the voters were Latino who made 40 percent and African Americans
who were 25 percent," she explained.
"But ninety percent of them voted me, which is a great signal of
optimism for American Muslims.
"If any Muslim or even a woman want to achieve something, she needs
only a hard work and honesty."
According to the American Muslim Alliance, only nine Muslims were
serving in state legislatures nationwide before Tuesday's elections.
Tlaib insists that as a Democratic Representative for Michigan State
Legislature, she will be pursuing policy change in the larger interest
of the community.
"As a lawyer and social activist, I was already working for social
justice, immigrant and civil rights for people in the Southwest
Detroit."
She used to provide social and advocacy services to thousands of
Southwest Detroit families through the Latin Americans for Social &
Economic Development (LASED), the Arab Community Center for Economic &
Social Services (ACCESS), the International Institute of Metro Detroit
and the Neighborhood Tax Center.
Proud Muslim
Tlaib was elected in a largely black and Hispanic Detroit district.
Tlaib is a mother of three-year-old Adam.
Though she is living happily with her husband Fayez, she is still
taking care of some of her siblings, providing them proper education
and guidance.
"Though I don't wear hijab but I am a practicing Muslim, performing
five times prayers daily and will be carrying along my prayer rug to
my office in Lansing," she told IOL referring to the headquarters of
the Michigan legislature.
"I am sure wearing hijab or following Islam is not an obstacle here in
achieving one's goals, provided there is commitment and persistent
efforts," she said emphatically.
After the 9/11 terrorist attacks, Tlaib had to struggle hard for the
rights of immigrant families in her community especially Arab Muslims.
But finally she succeeded in getting back their civil liberties and
restoring their image and confidence.
In 2007, Tlaib was selected as fellow by Michigan Center for
Progressive Leadership in recognition of her leadership skills.
"Like many other immigrant Americans, my family too had an American
Dream, and today it got materialized," she told IOL.
"I feel myself fortunate enough to serve the community where I grew up
and which shaped me in a Muslim representative woman that I am today."
Islamic Economics: An Alternative?
By Dr.Hussein Shehatah
Expert on the Islamic Financial Transactions
After World financial meltdown had dealt a severe blow to the free
market system, economists rushed searching for alternatives that could
avoid the pitfalls of Capitalism. Dr. Hussein Shehata, a prominent
expert on Islamic financial transactions, argues that Islamic economic
system can be a viable alternative. Dr. Hussein Shehata Received his
PhD in administrative accounting from Bradford University, the United
Kingdom. He works as a financial advisor for numerous financial
institutions in the Muslim World.
Islamic financial institutions have increasingly gained momentum in
many parts of non-Muslim world, including United Kingdom, Oct.21.2008.
(Reuters photos) Signs of the collapse of the world financial system
have emerged, causing great panic to people all over the world. Many
governments called upon economists and experts to find a way out.
Financial institutions and their agents began to think about rescue
plans.
Many people rushed to draw their deposits from banks. At the same
time, several financial institutions have frozen the process of
granting loans to companies and individuals for fear that it might be
difficult to take them back.
The drop in the circulation of money among individuals, companies and
financial institutions has given rise to a sharp slowdown in the
economic activity. As a consequence, debtors have become unable to pay
back their debts.
Wall Street meltdown dealt a severe blow to the level of exchanges in
money and exchange markets causing indexes to fluctuate. Furthermore,
used capacities in companies were decreased due to the decrease in
financial flow and the inability to take loans from financial
institutions, except at high interest rates with heavy guarantees.
This shortage of financial flow decreased consumption of certain
commodities, like cars and real estate sector. The drop in
consumption decreases savings, investment projects, and hence
increases unemployment which is eerily climb as many companies become
bankrupt threatening many employees to lose their jobs.
Causes of the Crisis
Credit card debt inflicts high costs on the consumer, and when one can
not pay back his debts, the interest rate is continuously increased.
Maurice Allais, an expert on world economy and a Nobel Prize laureate
in economics, said, "The world economic system is based on some
concepts and rules that will be the very cause of its destruction
unless treated and rectified quickly."
In fact, many economists argue that the neo-capitalist world economic
system rests on principles that will lead to its ruin.
It can be argued that among the reasons that led to the crisis is the
spread of moral economic corruption, such as exploitation, lying,
circulation of prejudiced rumors, cheating, monopoly and the
engagement of nominal transactions, with no real value. In this way,
the wealthy and creditors oppress the poor and debtors who, as a
consequence of being unable to bear such oppression anymore or pay
back these debts and loans, will grumble and be resentful.
Also, wealth has become a weapon used to dominate and control politics
around the world. Money has become the idol the capitalist economy.
Interest-backed banking system inflicts mounting debts on consumers by
working within the framework of the system of trading debts, either
by selling, buying or brokerage.
The more the interest rate on deposits increases, the more the
interest rate on the loans granted to individuals and companies will
also increase. Only banks and stockbrokers benefit from this, whereas
the debtors, who take loans for consumption or production purposes,
bear this heavy burden alone.
Credit card debt inflicts high costs on the consumer, and when one can
not pay back his debts, the interest rate is continuously increased.
Ultimately, consumer's property will be confiscated in order to
guarantee security. This has actually happened to many holders of such
credit cards, causing an imbalance of their house budgets.
Indeed, banks impose additional burdens on the borrower who is not
able yet to discharge the first loan due to the increasingly higher
rate of interest. This is similar to usurers in the pre-Islamic period
of Ignorance who would say to a debtor, "Either you repay or augment."
Furthermore, Stock brokerage firms deceives those in need of loans as
they claim high commission payment if there are potential risks,
leaving the poor debtors to bear their burden and attributed negative
consequences.
Actually, Some economists believe that no real development or wise
employment of the means of production could be achieved unless the
interest rate is zero. This view was held by Adam Smith, the Father of
modern economics.
Furthermore, economists think that the alternative is based on
participating in profit and loss, because it brings about stability
and security. In addition, interest-based system results in the
accumulation of wealth in the hands of few people who will thus be in
control of the world's fortunes.
In addition, The world financial system rests on the basis of the
financial derivatives system that depends mainly on nominal
transactions, with no real exchanges of goods or services. What is
even worse is that most of these transactions are based on credits
taken from banks in the form of loans, and when things develop
unfavorably all that collapses triggering the financial crisis.
Islamic Economics
Islamic economy promotes participation in profit, loss, and actual
exchanges of money and assets.
The current financial crisis debunks the myths of Capitalism, opening
the way for alternative economic systems to emerge, among which is the
Islamic finance and economy.
Yet, instead of just reacting to the crisis, scholars of Islamic
economics ought to explain the concepts and principles of the Islamic
financial and economic system and present its reference and
applications to wider audience.
The Islamic economic and financial system is based on a set of values,
ideals, and morals, such as honesty, credibility, transparency, clear
evidence, facilitation, co-operation, complementarity ,and solidarity.
These morals and ideals are fundamental because they ensure stability,
security, and safety for all those involved in financial transactions.
Furthermore, the Islamic Shari`ah prohibits the economic and financial
transactions that involve lying, gambling, cheating, gharar
(risk-taking), jahalah (unawareness), monopoly, exploitation, greed,
unfairness, and taking people's money unjustly.
In addition, Islamic economy promotes participation in profit, loss,
and actual exchanges of money and assets. In fact, there should be
real interaction between the wealthy, employers, the employees, and
financial experts.
There is no party who is a constant winner or a constant loser; yet
profit and loss is mutually shared.
Based on Shari`ah regulations, economic contracts entail mudarabah,
sharing, murabaha, istisnaa`, salm, igarah, and sharecropping.
Shari`ah prohibits all forms of investment-based contracts of funding
that involve interest loans forbidding financial transactions that
involve gharar (risk-taking) and jahalah (unawareness).
Actually, economic experts assert that the system of financial
derivatives cannot bring about real development. Financial derivatives
create only money, with no real value, causing inflation and price
rise ,as well as moral decadence. For example, financial derivatives
caused quick collapse of East Asian financial institutions.
Regarding debts, Shari`ah prohibits all forms of selling debts, like
discounting promissory notes and checks with postponed payments. Also
forbidden under the Shari`ah is the scheduling of debts at a higher
interest rate. Prophet Muhammad (peace and blessings be upon him)
forbade the sale of debts. In fact, economists contend that selling
debts has exacerbated the financial crisis.
Actually, the Islamic economic and financial system makes it easier
for the borrower to repay debts. Almighty Allah says: "And in case any
person is under difficulty, then he should (be granted) a respite to
(the time of) ease…" (Chapter 2: Verse 280).
Shari`ah allows for a system of funding and investment based on
participation in both profit and loss and interaction between capital
and labor. Shari`ah calls on the parties involved in transactions to
behave in a truthful, honest, clear and transparent way by prohibiting
gharar, jahalah, cheating, gambling, lying, rumors, exploitation and
taking people's money unjustly.
In a word, the only way out of this crisis can be found in the
principles and regulations of the Islamic economics.
***
Dr. Hussein Shehatah is Consultative Expert on the Islamic Financial
Transactions and Professor at Al-Azhar University.
Runtuhnya Gerakan Kultural Muhammadiyah
Mantan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Bayang-bayang keterlibatan Muhammadiyah secara praktis ke dalam ruang
politik belakangan ini semakin kentara. Walaupun beberapa pimpinan di
organisasi modernis ini menyangkal keterlibatan maupun keberpihakan
Muhammadiyah dalam politik praktis, faktanya dengan berdirinya Partai
Matahari Bangsa (PMB) yang didirikan oleh sebagian besar Angkatan Muda
Muhammadiyah dan didukung penuh oleh Ketua Umum Pusat Pimpinan
Muhammadiyah Prof Dr H Din Syamsudidin menunjukkan fakta sebaliknya.
Apalagi, Ketua Umum Pusat Muhammadiyah yang merupakan simbol dan kunci
bagitegaknya gerakan kultural Muhammadiyah secara terang-terangan dan
terus-menerus melibatkan dirinya dengan berbagai pernyataan yang
menunjukkan kesiapannya untuk menjadi petinggi republik ini (presiden
atau wakil presiden), sekaligus dengan memberikan dukungan penuh terhadap
kehadiran PMB. Memang fenomena yang demikian tidak semuanya didukung oleh
pimpinan dan warga Muhammadiyah, tetapi warga Muhammadiyah nyatanya
tidak dapat mengelak akan adanya bayang-bayang pergeseran posisi dan peran Muhammadiyah sebagaierakan kultural yang idealnya mengabdi untuk
kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik dengan posisi yang sama selama bertujuan untuk mendorong *amar makruf nahi munkar* ke arah gerakan politik.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, adanya upaya pemihakan
yang dilakukan oleh salah satu pimpinan Muhammadiyah, seperti Ketua Umum
Pusat Muhammadiyah terhadap salah satu partai politik. Hal ini setidaknya
bisa kita cermati melalui berbagai pernyataan yang diberikan oleh Ketua Umum
Pusat Muhammadiyah terhadap PMB dalam berbagai kegiatan partai yang
berlambang matahari merah ini yang secara terbuka ditafsirkan
memberikan dukungan terhadap partai tersebut.
Langkah-langkah tersebut tentu saja tidak ada salahnya. Tetapi,
berpijak pada *khittah* Muhammadiyah yang menjunjung tinggi etika berpolitik
atau meminjam istilah Prof Dr HM Amien Rais yang menggunakan prinsip *High
Politic*, tentu saja manuver maupun berbagai pernyataan yang
dikeluarkan oleh petinggi Muhammadiyah tersebut akan dapat mencederai cita-cita dan
idealisme Muhammadiyah karena dinilai menunjukkan keberpihakan terhadap
parpol tertentu.
Muhammadiyah sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh HM Junus Anis,
salah satu pimpinan Muhammadiyah, Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Artinya,
Muhammadiyah tidak akan pernah digadaikan atau terjual oleh kepentingan
politik atau menjadi parpol.
Ungkapan ini muncul akibat kejengkelan HM Junus Anis yang begitu
mudahnya pimpinan Muhammadiyah tergoda dengan kepentingan politik. Melalui
*khotbah iftitah* pada muktamar ke-35 dan milad setengah abad Muhammadiyah,
beliau menjawab dengan ketus: ''Silakan makan, kalau memang *doyan*, tapi awas
kalau nanti *keleleden*: ditelan tidak masuk, dilepeh tidak keluar.
Ingat,Muhammadiyah bukan dan tidak akan menjadi partai politik. Sekali
Muhammadiyah tetap Muhammadiyah: selalu kukuh untuk melakukan dakwah
*amar makruf nahi munkar* untuk kebaikan semua masyarakat sebagai bagian dari
gerakan kultural.''
Begitu kokoh dan kuatnya pendirian HM Junus Anis untuk menjaga
eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan kultural. Bahkan, ketika Ahmad Syafii
Maarif melanjutkan kepemimpinan Muhammadiyah sangat tampak komitmen beliau
untuk meneruskan semangat dan cita-cita para pendahulu pimpinan Muhammadiyah
yang ingin meletakkan Muhammadiyah untuk kepentingan bangsa.
Dengan demikian, dengan kokoh beliau masuk ke dalam semua parpol tanpa
menunjukkan sikap keberpihakannya terhadap salah satu parpol. Dengan
adanya sikap yang demikian, Muhammadiyah akan selalu dipandang dan dilihat
sebagai organisasi besar tempat banyak orang mengadu dan meminta petunjuk.
Akan tetapi, tentunya akan berbeda jika Muhammadiyah sudah menunjukkan
keberpihakannya terhadap salah satu parpol atau masuk dalam ruang
politik praktis. Hal ini tanpa kita sadari akan memperkecil keberadaan dan
peran organisasi Muhammadiyah itu sendiri.
Muhammadiyah bagi masyarakat tidak lagi menjadi bagian atau kepemilikan
dari masyarakat secara luas, melainkan sebagai bagian atau kepemilikan dari
sebagian atau sekelompok orang atau partai politik tertentu. Dengan
demikian, Muhammadiyah tidak bisa menjadi tenda bangsa yang seharusnya
mengayomi semua kepentingan demi menjalankan misi dakwah *amar makruf
nahi munkir*.
Apalagi, kita menyadari dunia politik (praktis) bukanlah dunia yang
sesederhana sebagaimana kita memandangnya. Meminjam pendapatnya Sukardi
Rinakit, misalnya, bahwa dunia politik adalah dunia yang becek dan
licin.
Jika tidak hati-hati dan teliti akan bisa menjemuruskan keberadaan kita
sendiri. Oleh karenanya, Ahmad Syafii Maarif pernah berujar bahwa
politik itu pada dasarnya menjaga jarak, sedangkan dakwah itu merangkul.
Artinya, dunia politik akan bisa menjadikan orang yang satu barisan dengan kita
untuk bermusuhan jika terjadi perbedaan kepentingan. Berbeda dengan jalur
dakwah yang tidak akan melihat siapa kawan dan siapa lawan, semuanya bisa
dirangkul demi tegaknya *amar makruf nahi munkar*.
Menyangkut hal ini, catatan sejarah akan keterlibatan Muhammadiyah
dalam politik praktis rasanya cukup memberikan pelajaran yang penting bagi
kita, bagaimana tergelincirnya Muhammadiyah dalam ruang politik yang akhirnya
tidak membawa manfaat bagi Muhammadiyah dan bangsa ini secara luas.
Mulai dari keterlibatan Muhammadiyah dalam Masyumi, Perti, dan Sekber Golkar.
Untuk itu, dalam menghadapi iklim politik 2009, sebagai warga
Muhammadiyah kita tentunya tetap memiliki harapan agar Muhammadiyah
tetap berada di garda terdepan dalam menuntun moralitas dan perilaku politik publik agar terwujud masyarakat *baldatun tayyibatun warabbun ghafur* sebagaimana tujuan
dari Muhammadiyah.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, setidaknya warga Muhammadiyah dalam
menghadapi pemilu 2009 tidak mudah tergelincir dengan tampilan-tampilan
kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang nyata-nyatanya bisa
menjemuruskan cita-cita Muhammadiyah. Ada pelajaran penting yang bisa
kita petik dari pemilu tahun 2004 sebagai pelajaran bagi kita dalam
menghadapi pemilu 2009.
Pertama, tetap *istiqamah* dengan perjuangan dakwah atau gerakan
kultural Muhammadiyah tanpa menunjukkan keterlibatan atau keberpihakan
Muhammadiyah, terutama sekali pucuk pimpinan Muhammadiyah terhadap salah satu parpol
sebagaimana arahan PP Muhammadiyah dalam menghadapi pemilu 2009. Kedua,
menjauhkan warga Muhammadiyah dari berbagai rayuan politik uang maupun
kepentingan politik berjangka pendek demi kepentingan satu kelompok
atau parpol tertentu.
Ketiga, memilih kepemimpinan nasional baik untuk legislatif maupun
eksekutif yang jujur, amanah, memiliki integritas moral dan intelektual yang
tinggi, adil dan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan nasional secara
luas.
Keempat, menjaga aset dan segala bentuk amal usaha Muhammadiyah dari
kepentingan politik praktis perseorangan maupun kelompok. Kelima, tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, etika, kesopanan dan keadaban
yang dapat menciptakan kondisi tenang, aman, dan tenteram bagi kehidupan
kita berbangsa secara luas.
*Ikhtisar:*
- Manuver dan pernyataan petinggi Muhammadiyah dapat mencederai
cita-cita dan idealisme organisasi tersebut.
- Politik pada dasarnya menjaga jarak, sedangkan dakwah merangkul.
- Muhammadiyah harus tetap berada di garda terdepan menuntun moralitas
dan perilaku politik publik.
sumber :
Republika, Jumat, 24 Oktober 2008
Muhammadiyah dan Godaan Politik Partisan
Pendiri Muhammadiyah Cabang Istimewa Jerman, Meraih Doktor Ilmu
Politik dari Universitas Muenster
Mudah
diramalkan jika setiap menjelang pemilihan umum (pemilu) Muhammadiyah
selalu menjadi sasaran kampanye politik. Hal ini wajar karena
Muhammadiyah merupakan salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini,
yang tidak hanya memiliki puluhan juta anggota dan simpatisan,
melainkan juga sumber daya organisasi yang kaya.
Menariknya,
eksploitasi potensi politik Muhammadiyah tidak hanya dilakukan oleh
agen-agen dari luar, melainkan juga dari dalam organisasi ini sendiri.
Langkah yang paling spektakuler sekaligus kontroversial barangkali
keputusan Amien Rais yang kala itu adalah ketua umum PP Muhammadiyah
mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998. Meski PAN secara
oganisatoris adalah partai terbuka dan tidak memiliki hubungan formal
dengan Muhammadiyah, realitasnya partai ini banyak bersandar pada
Muhammadiyah dalam rekrutmen kader (leadership recruitment) maupun
pemilih (electoral constituents).
Keputusan
menarik Muhammadiyah ke lintasan politik telah menimbulkan pro dan
kontra berkepanjangan. Sebagian aktivis menolak karena politisasi akan
sekadar menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik serta
memasukkan benih-benih partisanisme ke dalam organisasi yang akan
menghasilkan perpecahan.
Namun, tidak kurang juga yang
mendukung langkah itu karena meyakini bahwa misi Muhammadiyah adalah
dakwah dan politik merupakan salah satu medan dakwah. Karena itu
Muhammadiyah tidak perlu alergi dengan politik.Lima tahun kemudian
menjelang pemilu 2009 dorongan politisasi dari dalam organisasi kembali
menguat. Tahun 2007 yang lalu sejumlah kader muda mendirikan Partai
Matahari Bangsa (PMB) yang tampaknya juga akan menjadikan Muhammadiyah
sebagai ladang politik.
Lebih seru lagi, beberapa hari
belakangan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berkali-kali
muncul di media massa mengindikasikan keinginannya untuk dicalonkan di
kancah pemilihan presiden. Tidak terhindarkan lagi, perkembangan ini
akan memicu kembali pro-kontra lama yang belum sepenuhnya reda.
Kembali ke barak
Dalam
perspektif yang lebih luas, pro-kontra terhadap politisasi Muhammadiyah
bukan sekadar persoalan internal organisasi, melainkan persoalan
fundamental yang menyangkut masa depan demokratisasi di negeri ini.
Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi masyarakat sipil (ormas) yang
fungsinya adalah menyediakan ruang publik yang melindungi masyarakat
dari intervensi politik negara. Malahan Muhammadiyah juga berjasa
menyediakan berbagai layanan publik, seperti sekolah, panti asuhan, dan
rumah sakit yang tidak terjangkau negara.
Memang bukan berarti
ormas tidak memiliki peran politik. Terutama dalam masyarakat yang
sedang menjalani proses demokratisasi, ormas memiliki peran politik
strategis. Sebagaimana yang terjadi di banyak negara, ormas selalu
memainkan peran vital dalam proses transisi politik dari authoritarian
menuju demokrasi. Mereka menjadi agen utama dalam upaya meruntuhkan
tembok otoritarian dan membangun fondasi demokrasi.
Namun, sejatinya politik praktis bukanlah habitat ormas. Secara teori,
fungsi ormas menyuarakan (representing)
kepentingan masyarakat. Ormas cenderung konsisten dengan visi dan
misinya, tanpa banyak terpengaruh oleh aktivitas ormas lain maupun
perubahan iklim politik. Muhammadiyah, misalnya, senantiasa fokus pada
kegiatan mendakwahkan Islam modernis tanpa banyak terpengaruh oleh
perubahan rezim politik.
Ini kontras dengan perilaku organisasi
politik (orpol) yang selalu berubah orientasi seiring dengan perubahan
tren dan situasi. Fungsi orpol adalah mengolah (aggregating)
kepentingan. Orpol bertugas menyediakan pilihan kebijakan (policy
packages) yang mampu merangkum berbagai kepentingan yang ada di
masyarakat. Wajar apabila orpol meskipun memiliki bendera ideologi dan
platform politik selalu mengusung diskursus yang silih berganti. Ini
karena
memang tuntutan kepentingan yang berubah. Seperti kata pepatah, bagi
orpol tidak ada kawan atau lawan sejati karena yang sejati adalah
kepentingan.
Dalam konteks perkembangan lebih lanjut dari proses
demokratisasi inilah menjadi sangat penting bagi Muhammadiyah untuk
menjauhkan diri dari politik partisan, kembali ke barak memainkan
fungsi ormas sebagai penjaga ruang publik yang kalis dari partisan
politik. Konsolidasi demokrasi tidak hanya memerlukan orpol yang
efektif mengagregasi dinamika kepentingan, melainkan juga ormas yang
teguh menjaga nilai-nilai ideal agar tidak larut dalam pusaran
kepentingan.
Institusionalisasi aturan main
Dengan
banyaknya jajaran kader dan pimpinan yang berlompatan ke perahu politik
yang lebih megah dan mewah, tidak mudah bagi Muhammadiyah untuk
berteguh diri memainkan fungsi ormas. Pertama, secara doktriner banyak
warga Muhammadiyah yang meyakini bahwa dakwah adalah aktivitas
multidimensi, termasuk mencakup politik. Mereka ini masih percaya bahwa
politik adalah medan dakwah meski kenyataan selama ini menunjukkan
agama sering dimainkan sebagai komoditas politik.
Kedua, secara
sosial ekonomi di mana patronase politik merupakan jalan paling cepat
meski mungkin tidak yang termudah untuk mendapatkan penghasilan
finansial. Karena itu banyak yang tetap berpaling ke politik, baik
untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan organisasi.Sudah ada suara
di kalangan Muhammadiyah untuk mencari figur pimpinan yang tahan
godaan jabatan politik. Namun, dalam telaah yang lebih cermat fenomena
lintas pagar dari ormas ke orpol ini bukan hanya karena faktor
individual, melainkan juga karena ada insentif institusional.
Di
Indonesia, orang masih sangat mudah membuat partai politik. Jika
cadangan dana besar, para bandar politik dengan mudah membuat parpol
baru dan merekrut kader-kader politik mereka dari berbagai ormas yang
ada.Galibnya hal ini bukan semata problem internal organisasi
Muhammadiyah, melainkan terkait dengan sistem politik yang lebih besar,
yaitu upaya institusionalisasi system politik. Dalam sistem demokrasi
yang stabil, parpol adalah aktor utama permainan politik, sedangkan
ormas bertugas mengawasi perilaku politik dan kebijakan pemerintah yang
tidak menyuarakan kepentingan rakyat.
Parpol yang mapan memiliki
sistem rekrutmen dan pengaderan yang terstruktur dan berjenjang, dan
bukan dengan main comot individu dari luar organisasi. Upaya untuk
meningkatkan syarat pembentukan parpol, seperti menaikkan jumlah
minimal cabang atau menambah electoral threshold menjadi
sangat penting untuk menjadikan parpol organisasi yang stabil dengan
orientasi jangka panjang. Sekaligus mencegah aktor politik dengan mudah
membentuk parpol dan main comot dari ormas.
sumber :
mailis M_S@yahoogroups.com
Letter from Barack Obama on his Muslim Heritage
of my family. Some of the things that have been said are true, others
are false, so I am writing this letter to clear up the
misunderstandings on this issue.
Yes, it is true that I have a name that is common amongst Kenyan
Muslims where my father came from and that my middle name is Hussein.
Barack is a name which means "blessing" and Hussein is a masculine
form of the word beauty. Since there is nothing inherently wrong with
the concept of blessings from God and the beauty He creates I fail to
see the problem with these names. Some will say wouldn't it be a
problem to have a president with a name similar to the deposed and
executed former dictator of Iraq ? My answer to this is simply no;
rather it is the strength and beauty of America that the son of an
African man with a "funny sounding" name, born under British Colonial
Rule, can now be a serious candidate for the presidency of the United
States .
My father was a Muslim and although I did not know him well the
religion of my father and his family was always something I had an
interest in. This interest became more intense when my mother married
an Indonesian Muslim man and as a small child I lived in Indonesia and
attended school alongside Muslim pupils. I saw their parents dutifully
observing the daily prayers, the mothers covered in the Muslim hijab,
the atmosphere of the school change during Ramadan, and the
festiveness of the Eid celebrations.
The man my mother was married to was not particularly religious; but
he would attend the mosque on occasion, and had copies of the Quran in
different languages in the home, and books of the sayings and life of
the Prophet Muhammad. From time to time he would quote Islamic phrases
such as "no one truly believes until he wants for his brother what he
wants for himself", "oppression is worse than slaughter", and "all
humans are equal the only difference comes from our deeds".
Growing up in Hawaii with my mother and her grandparents Islam
largely escaped my mind. My mother installed in me the values of
humanism and I did not grow-up in a home were religion was taught.
It was later while I attended college at Columbia University and
Harvard Law that I became reacquainted with Muslims as both schools
had large Muslims student populations. Some of them were my friends
and many came from countries that our nation now has hostile relations
with. The background I had from my early childhood in Indonesia
helped me get to know them and learn from them and to me Muslims are
not to be looked upon as something strange. In my experiences up until
college a Muslim was no less exotic to me than a Mormon, a Jew, or a
Jehovah's Witness.
After college I settled in my adopted hometown of Chicago and lived
on the South Side and worked as a community organizer. Chicago has
one of the largest Muslim populations in America (estimated to be
around 300,000) and Muslims make-up some of the most productive
citizens in the area. I met countless numbers of Muslims in my job as
an organizer and later on in my early political career. I ate in their
homes, played with their kids, and looked at them as friends and peers
and sought their advice.
Therefore, when the tragic terrorist attacks of 9-11 occurred I was
deeply saddened with the rest of America , and I wanted justice for
the victims of this horrific attack, but I did not blame all Muslims
or the religion of Islam. From my experience I knew the good character
of most Muslims and the value that they bring to America . Many, who
did not personally know Muslims, indicted the entire religion for the
bad actions of a few; my experience taught me that this was something
foolish and unwise.
Later I had the chance to visit the homeland of my father and meet
Muslim relatives of my including my grandmother. I found that these
were people who wanted the same things out of life as people right
here in America and worked hard, strive to make a better way for
their children, and prayed to God to grant the success.
This is what I will bring to the office of the Presidency of the
United States . I will deal with Muslims from a position of
familiarity and respect and at this time in the history of our nation
that is something sorely needed.
Barack Obama
San Francisco, California , USA
Sumber:
http://front-line.blogspot.com/2008/11/letter-from-barack-obama-on-his-muslim.html
Senin, 13 Oktober 2008
Pembangunan Panti Asuhan Anak Yatim (PAY)
Selasa, 30 September 2008
Lebaran 1429 H
Kamis, 18 September 2008
Rangkaian Kegiatan Ramadhan Di SMP Muhammadiyah Adipala
Kegiatan yang diikuti 116 siswa/siswi kelas 7-9 dan dilaksanakan di Kampus SMP M, Jl. Balai Desa, Penggalang, dan Masjid An-Nur ini, resmi ditutup Kamis, 18 September 2008 lalu. Adapun puncak acara ditutup dengan Pengajian Akbar Nuzulul Qur’an di Masjid An-Nur Penggalang Adipala dengan pembicara Ustadz Muhammad Tomari dari Bobotsari Purbalingga.
Menurut Sunaryo, Kepala SMP M Adipala, tujuan dari diadakannya kegiatan ini adalah untuk menjalin ukhuwah Islamiyah antara Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM), Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), seluruh Organisasi Otonom (Ortom), dan masyarakat sekitar.
Abdul Rohman, selaku Koordinator kegiatan Pesantren Kilat menjelaskan beberapa target dan harapan yang bisa diperoleh dari kegiatan ini, yaitu : (1) peserta dapat melaksanakan shalat 5 waktu dengan tertib, (2) Mengisi amaliah Ramadhan, dan (3) Berakhlak dengan Ramadhan, yaitu gembira bila datang Ramadhan dan bersedih ketika ditinggal bulan Ramadhan.
“Kami mengakui bahwa dari ketiga target tersebut, baru target kesatu dan kedua yang sudah dapat kelihatan hasilnya. Namun yang ketiga kami belum melihat,” tandasnya.
Sementara itu, Dwi Astuti (16), salah seorang siswi kelas 9 yang diminta komentarnya mengenai kegiatan tersebut, mengatakan bahwa sangat senang dengan serangkaian kegiatan Ramadhan karena dapat menambah ilmu, terutama ilmu keagamaan.
“Saya sangat senang dengan diadakannya kegiatan ini, karena dapat menambah ilmu pengetahuan agama dan juga dapat menambah keimanan. Saya juga berharap kegiatan ini dapat dilanjutkan untuk tahun-tahun mendatang,” harapnya.
Minggu, 14 September 2008
Keterbatasan akal manusia dalam hal kebenaran dan moral
mailis cikeas@yahoogroups.com
10 September 2008
Ass wr wb
Selama bulan Ramadhan saya absen dalam berselancar di dunia maya.
Namun cucu saya Muammar Qaddhafi yang sementara ada di Makassar dan
saya jadikan sekretaris pribadi saya buat sementara, yakni selama MQ
di Makassar, datang melapor menjelang terbit matahari, bahwa tatkala
membuka mail-box saya MQ mendapatkan tulisan Ulil Absar Abdalla yang
perlu ditanggapi. Karena saya tidak menyediakan waktu untuk itu, saya
amanahkan kepadanya untuk memilih dari serial artikel saya yang cocok
untuk menjawab tulisan UAA tersebut. Dan hasilnya MQ memilih Seri 001,
002, 003 dan 419 dan membuat khulasah seperti berikut:
"Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan
pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya
untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan
pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung
pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan
dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu relatif sifatnya, baik
dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan qalbunya, maupun
dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang diperolehnya dan
dialaminya. Dengan demikian akal itu sifatnya relatif juga, baik untuk
memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya
sesuatu.
Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur
(ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan
kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia.
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia
dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh
dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga
kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan
mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai
melalui filsafat ataupun tasawuf
Ada moralitas yang tidak bersumber dari akar sejarah, melainkan
bersumber dari wahyu yaitu ajaran akhlaq yang dibawakan oleh para Nabi
dan Rasul. Ajaran akhlaq tertinggi adalah taqwa. Ketaqwaan memegang
peranan yang sangat penting dalam mengkaji masa lalu. Orang yang
berpikiran jernih akan mengatakan bahwa perombakan sistem
sosial-ekonomi masyarakat Arab jahiliyah disebabkan oleh ajaran akhlaq
dan kemasyarakatan dari Risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ketaqwaan sangatlah perlu dalam mengkaji masa lalu untuk hari esok."
Silakan menyimak dan menikmati artikel yang di bawah
Wassalam
H.M. Nur Abdurrahman"
email : mnur.abdurrahman@yahoo.co.id
****
BISMILLA-HIRRAHMA- NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
001. Peranan Wahyu dan Akal dalam Kehidupan
Makhluk ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini, seperti apa yang dapat
kita amati, dapat digolongkan dalam jenis-jenis: batu-batuan/ mineral,
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah SWT sebagai ArRabb
mengatur alam syahadah dengan hukum-hukumNya untuk mengendalikan
berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai ArRabb (Maha Pengatur)
mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang hingga kini baru
dikenal oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet,
gaya kuat dan gaya lemah. Medan gravitasi utamanya mengontrol
makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang. Ketiga jenis yang lain
mengontrol mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol pasangan proton
(bermuatan +) dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton dalam inti
atom yang saling tolak karena bermuatan sama, "direkat" oleh gaya
kuat. Sedangkan gaya lemah menyebabkan inti atom seperti misalnya
Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi "lapuk" terbelah dengan
mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga Thorium dan Uranium disebut
pula zat radioaktif.
Di samping ke-4 jenis itu hukum Allah mengendalikan pula
tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang biak;
kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu
bertumbuh ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada
binatang ditambah pula lagi dengan kekuatan naluri dengan
perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan naluri dan perlengkapan
pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja menurut
kemauannya atas dorongan nalurinya. Dari segi naluri ini manusia tidak
ada bedanya dengan binatang, yaitu naluri mempertahankan jenisnya.
***
Allah meniupkan ruh ke dalam nafs (diri, jiwa) manusia, yang ada di
dalam jasmani manusia. Ruh, dan nafs ini yang tidak diberikanNya
kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia
mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu nafs. Dengan ruh manusia mempunyai
kesadaran akan wujud nafsnya. Nafs mempunyai kekuatan yang disebut
akal, Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan
dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat
merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym"
(95:4), sebaik-baik bentuk dalam tiga tataran: ruhani, nafsani dan
jasmani. Dalam ilmu orang "kampung" jasmani disebut rupa tau (wajah
lahir manusia), nafsani disebut ilalanganna taua (diri di dalam rupa
tau) dan ruhani disebut maqnassa tau (manusia yang sesungguhnya) .
Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan
pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya
untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan
pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung
pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan
dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah
akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil
olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme.
Hasil pemikiran dan renungan anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang
hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar
jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang
diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal
manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan
mekanisme otak dan qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam
informasi yang diperolehnya dan dialaminya. Dengan demikian akan
relatif juga, baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk
merenung baik buruknya sesuatu.
Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur
(ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan
kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia. Nabi
Muhammad RasuluLlah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir. Setelah
beliau Allah tidak lagi menurunkan wahyu. Dalam shalat kita minta
kepada Allah:
-- Ihdina shShira-tha lMustqiym (1:6), tuntunlah kami ke jalan yang
lurus. Maka Allah menjawab:
-- Alif, Lam, Mim. Dza-lika lKitaabu laa Rayba fiyhi Hudan
lilMuttaqiyn (s. alBaqarah, 1-2), itulah Kitab tak ada keraguan
dalamnya penuntun bagi Muttaqiyn (2:1-2). Al Quran yang tak ada
keraguan dalamnya memberikan informasi kepada manusia tentang
perkara-perkara yang manusia tidak sanggup mendapatkannya sendiri
dengan kekuatan akalnya:
-- 'Allama lInsa-na Maalam Ya'lam (s. al'Alaq, 5), (Allah) mengajar
manusia apa yang tidak diketahuinya.
Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia
dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh
dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga
kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan
mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai
melalui filsafat ataupun tasawuf:
-- Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari
Rabb kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui
manusia dengan kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin
dapat menyentuh alam ghaib.
Demikianlah tolok ukur produk pemikiran dan renungan yang berupa
filsafat dan tasawuf itu adalah:
-- "Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn" . Filsafat
dan tasawuf harus dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab
kalau tidak demikian, maka filsafat dan tasawuf itu menjadi liar.
Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan pengamal filsafat
dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah fenomena yang
naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu
berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab,
merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal
filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia
untuk mempersatukan segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan
kepada Allah SAW setiap shalat, agar tidak terperosok ke dalam
golongan "Dha-lluwn", kaum sesat.
-- Hudan lilMuttaqiyn" , demikianlah wahyu itu menuntun akal para
Muttaqiyn untuk berolah akal, yaitu berpikir/berfilsafa t dan
merasa/bertasawuf. Akal harus ditempatkan di bawah wahyu dan ilmu
filsafat serta ilmu tasawuf harus ditempatkan di bawah iman,
singkatnya wahyu di atas akal dan iman di atas ilmu. WaLlahu a'lamu
bishshawab.
*** Makassar, 20 Oktober 1991
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii- hmna.blogspot. com/2007/ 06/001-peranan- wahyu-dan-
akal-dalam_ 7327.html
============ ========= ========= ===
BISMILLA-HIRRAHMA- NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
002. Konfigurasi Wahyu, Akal dan Naluri; Ruang Lingkup Syariat
Orang dapat menjalankan agama dengan baik, jikalau memahami ajaran
agama itu dengan baik. Supaya dapat memahami ajaran agama dengan baik,
haruslah pula dapat memahami wahyu dengan baik. Untuk dapat memahami
wahyu dengan baik haruslah pula dapat memahami informasi-informasi
yang relevan dengan wahyu, seperti Hadis Nabi, baik sabda mapun
sunnahnya, dan ilmu-ilmu bantu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum,
baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu non eksakta. Artinya wahyu
tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan akal.
Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.
Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada binatang
tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas nalurinya, sedangkan
pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu
membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan
mengendalikan nalurinya itu. Sungguhpun manusia itu diciptakan Allah
dengan sebaik-baik kejadian, karena diberi perlengkapan akal, akan
tetapi kalau akalnya tidak dapat mengendalikan nalurinya, maka akan
jatuhlah ia ke tempat yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari
binatang. Konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq pada waktu Isra,
Jibril yang menuntun Rasulullah yang mengendarai buraq, adalah suatu
ibarat yang sangat relevan bagi konfigurasi antara wahyu, akal dengan
naluri, yaitu wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan naluri.
Karena manusia mempunyai naluri mempertahankan diri, maka manusia di
dorong oleh nalurinya itu untuk menonjolkan keakuannya, menonjolkan
identitas dirinya. Manusia adalah makhluk pribadi. Syariat Islam
mengatur tatacara peribadatan yang 'ubudiyyaat (mufrad, singular:
'ubudiyyah) untuk manusia sebagai makhluk pribadi, yakni hubungan
langsung antara manusia dengan Allah. Peribadatan yang ubudiyyaat ini
sangat pribadi sifatnya. Pelaksanaanya tidak boleh mewakili atau
diwakilkan kepada orang lain. Peribadatan yang ubudiyyaat inilah yang
identik dengan pengertian religion, religie, godsdienst dalam
bahasa-bahasa barat. Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini sangat ketat:
semua tidak boleh, kecuali yang diperintahkan oleh Nash (Al Qur'an dan
Hadits Shahih), mengenai cara, waktu dan jumlah, bahkan ada yang
mengenai tempat (ibadah Haji). Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini dalam
istilah populernya ialah ibadah yang ritual. Shalat Maghrib misalnya
sudah ditetapkan tiga rakaat. Akal tidak boleh berpikir demikian:
Empat lebih besar dari tiga. Jadi empat rakaat pahalanya lebih banyak
dari tiga rakaat. Maka lebih baik shalat Maghrib empat rakaat supaya
pahalanya lebih banyak. Dalam Syariat yang ketat ini, akal dibatasi
kebebasannya. Akal hanya dapat digunakan secara deskriptif, yaitu
hanya boleh dipakai untuk menjawab pertanyan: bagaimana, bilamana,
berapa dan di mana, tidak boleh dipakai untuk melayani pertanyaan:
mengapa, misalnya pertanyaan seperti berikut: Mengapa puasa wajib
diperintahkan dalam bulan Ramadhan?
Walaupun manusia itu makhluk pribadi, namun manusia itu tidak dapat
hidup nafsi-nafsi. Cerita tentang Si Buta dan Si Lumpuh, Si Buta
memikul Si Lumpuh di atas bahunya, menunjukkan ibarat kerjasama yang
baik. Saling mengisi di antara keduanya, memakai kaki Si Buta untuk
berjalan dan mempergunakan mata Si Lumpuh untuk melihat. Manusia itu
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, jadi tidak dapat
hidup sendiri-sendiri, manusia itu saling membutuhkan di antara
sesamanya manusia. Manusia adalah makhluk bermasyarakat.
Syariat Islam juga mengatur pokok-pokok peribadatan yang mu'amalaat
(mufrad: mu'amalah) untuk manusia sebagai makhluk bermasyarakat.
(Ibadah adalah segenap aktivitas kita untuk mewujudkan nilai-nilai
kebenaran utama yang mutlak menurut Al Quran dalam kehidupan kita
sehari-hari, berlandaskan aqiedah yang benar, dikerjakan dengan
ikhlas, mengharapkan ridha Allah SWT semata, lebih luas pengertiannya
dari bahasa-bahasa barat: religion, religie, godsdienst). Seperti
misalnya membuang beling dari jalanan itu adalah ibadah yang
mu'amalah, jika diniatkan ikhlas karena Allah, bukan karena
penampilan, berbuat baik kepada sesama manusia supaya mereka yang
tidak bersepatu terhindar dari bencana luka akibat menginjaknya.
Peribadatan yang muamalaat ini adalah Syariat yang tidak ketat,
sifatnya terbuka: semua boleh, kecuali yang dilarang dan tidak
bertentangan dengan Nash. Dalam istilah populernya 'ibadah yang
mu'amalaat disebut 'ibadah yang non-ritual, yaitu cara, waktu, jumlah
dan tempat tidak ditentukan oleh Nash.
Sebagai contoh adalah pemakaian bedug di masjid. Kalau pemakaian bedug
itu diniatkan sebagai persyaratan untuk azan, maka ia menjadi sub
sistem dari peribadatan ubudiyyaat yang ketat. Jadi tidak boleh,
karena Rasulullah tidak pernah menyuruh pukul bedug di mesjid. Akan
tetapi jika pemukulan bedug itu diniatkan hanya sebagai sarana untuk
interaksi sosial, yang fungsinya seperti loud speaker, maka ini masuk
dalam Syariat muamalah yang tidak ketat, semua boleh kecuali yang
dilarang dan tidak bertentangan dengan Nash. Nabi hanya pernah
melarang pemakain lonceng di mesjid, sedangkan bedug tidak pernah
dilarang, jadi bedug boleh dipakai. Karena Syari'at yang mu'amalaat
ini hanya diberikan pokok-pokoknya saja, maka hal-hal yang mendetail
dipikirkan oleh akal manusia. Tentu saja hal yang mendetail ini
sifatnya situasional, akibat hasil pekerjaan akal yang relatif. Namun
hasil akal yang situasional itu merupakan rahmat Allah, jika akal itu
penggunaannya dibatasi oleh aturan-aturan pokok Syari'at Islam yang
muamalaat. Dalam Syariat yang mu'amalaat ini akal lebih bebas, yaitu
boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa, apa hikmahnya,
sepanjang masalah itu terletak di luar ruang lingkup aturan-aturan
pokok Syari'at. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 27 Oktober 1991
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii- hmna.blogspot. com/2007/ 06/002-konfigura si-wahyu-
akal-dan- naluri.html
============ ========= ========= ========= ========= ========= ====
BISMILLA-HIRRAHMA- NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
003. Interaksi Iman dan Ilmu, Pencemaran Thermal
Antara tumbuh-tumbuhan di pihak yang lain dengan manusia dan binatang
di pihak yang lain membentuk sistem yang dalam ungkapan bidal Melayu
lama berbunyi: Seperti aur dengan tebing, atau dalam ungkapan modern
yang canggih bunyinya: Mutualis simbiosis, suatu ekosistem saling
menghidupi dan menghidupkan. Aur yang tumbuh di tebing mendapat
zat-zat yang dibutuhkan tanaman untuk bertumbuh. Akar-akar aur menusuk
ke dalam tanah di tebing untuk dapat mengisap zat-zat yang
dibutuhkannya itu. Di pihak yang lain tebing mendapatkan manfaat dari
akar-akar rumpun aur, tebing menjadi kuat, tidak mudah terban (tidak
pakai g).
Untuk dapat hidup, manusia dan binatang harus mengisi perut, makan dan
minum dan mengisap udara, bernafas. Tujuan makan bukan untuk kenyang,
karena itu hanya sekadar kesan saja, melainkan makan pada hakekatnya
adalah mengisi tubuh dengan bahan bakar. Dan bernafas bukan hanya
sekadar menghirup udara segar supaya tidak mati lemas, melainkan
mengisi tubuh dengan oksigen dari udara. Di dalam tubuh manusia dan
binatang terjadilah reaksi kimia yang disebut oksidasi. Reaksi kimia
ini menimbulkan panas dan proses tersebut disebut respirasi.
Demikianlah tubuh manusia dan binatang menjadi panas, dan panas ini
dipertahankan suhunya oleh suatu sistem yang musykil dalam tubuh
manusia dan binatang, yaitu sistem pengatur suhu. Menarik nafas
artinya memasukkan oksigen ke dalam tubuh, sedangkan mengeluarkan
nafas artinya membuang sampah hasil pembakaran ke udara. Sebenarnya
yang dibuang ke udara itu pada hakekatnya hanya sejenis yang berupa
sampah dan yang lain tidak dipandang sampah. Yang pertama adalah
karbon dioksida, zat asam arang, CO2. Yang kedua adalah air dalam
bentuk uap. Air yang berasal dari mengeluarkan nafas ini dapat dilihat
jika kita ada di tempat dingin. Uap air itu mengembun di udara berupa
titik-titik air yang halus, kelihatannya seperti asap putih atau
kabut.
CO2 ayang dihasilkan/dikeluar kan dari tubuh manusia dan binatang
merupakan polutan, zat pencemar yang mencemarkan udara. Pencemaran
udara oleh CO2 ini bukan semata-mata dari manusia dan binatang saja,
melainkan, dan ini yang lebih banyak, berasal dari budak-budak tenaga,
energy slaves. Tidaklah berperi-kemanusiaan , jika manusia memperbudak
sesamanya manusia. Akan tetapi oleh karena pada dasarnya manusia suka
memperbudak, maka manusia memperbudak binatang, tenaga otot binatang
dimanfaatkan untuk bekerja. Setelah James Watt mendapatkan mesin uap,
maka manusia memproduksi budak-budak tenaga secara massal, yaitu
mesin-mesin yang dayanya lebih besar dari daya otot binatang. Dan
mesin-mesin ini menghasilkan CO2 jauh lebih banyak ketimbang CO2 yang
berasal dari manusia dan binatang. Sehingga sangat perlu sekali
dilaksanakan birth control terhadap budak-budak tenaga ini. Mengapa?
Oleh karena CO2 ini adalah zat pencemar yang menyebabkan terjadinya
pencemaran thermal, thermal pollution. Bumi jadi panas, suhunya naik,
es di kutub utara dan selatan mencair, air laut naik, maka terjadilah
banjir yang akan lebih hebat dari banjir di zaman Nabi Nuh AS. Dan
naiknya permukaan laut ini bukan teori omong kosong, betul-betul naik
menurut hasil intizhar atau observasi.
Mengapa CO2 itu menjadi penyebab pencemaran thermal, informasinya
seperti berikut: Lapisan udara yang mengandung CO2 yang banyak,
menyebabkan permukaan bumi ditutupi oleh lapisan CO2. Ini menyebabkan
terjadinya efek rumah kaca. Di tempat yang beriklim dingin, jika ingin
menanam buah-buahan dan sayur-sauran yang membutuhkan suhu yang lebih
tinggi dari suhu udara luar, maka buah-buahan dan sayur-sayuran itu
ditanam di dalam rumah kaca. Gelas atau kaca adalah zat bening,
radiasi matahari yang disebut photon gampang menerobos masuk. Photom
itu memukul molekul-molekul udara dalam rumah kaca. Getaran molekul
udra itu dipacu oleh photon itu, maka bertambah intensiflah getaran
molekul udara itu, yang membawa kesan fenomena naiknya suhu udara,
karena itulah udara bertambah panas. Kaca adalah penghantar panas yang
jelek. Maka terperangkaplah panas itu dalam rumah kaca. Photon mudah
menerobos masuk, namun setelah tenaga radiasi itu sudah ditransfer
menjadi tenaga panas dalam rumah kaca, gelombang panas tidak/kurang
mampu menerobos keluar. Inilah efek rumah kaca. Juga CO2 adalah zat
bening mudah ditembus photon. Juga CO2 adalah zat pengantar panas yang
jelek.. Maka terperangkaplah gelombang panas dalam ruang antara lapisan
CO2 dengan permukaan bumi, seperti halnya gelombang panas dalam rumah
kaca.
Demikianlah seriusnya gejala alam berupa naiknya suhu di permukaan
bumi ini, atau globalisasi thermal ini, maka Allah SWT memberikan
informasi kepada ummat manusia sejak lebih 14 abad yang lalu.
Berfirman Allah SWT dalam Al Quran, S. Yasin, ayat 80 sebagai berikut:
-- Alladzie ja'alalakum minasysyajari- lakhdhari naaran faidzaa antum
minu tuuqiduun. artinya: Yaitu Yang menjadikan bagimu api dalam (zat)
hijau pohon maka dengan itu kamu dapat membakar.
Sepintas lalu secara common sence, kita menjumpai pertentangan antara
akal dengan wahyu. Akal kita mengatakan, bahwa api itu atau yang
dibakar itu bukan dari pohon yang hijau, melainkan dari kayu-kayuan
dan daun-daunan yang kering berwarna coklat. Memang pepohonan hijau
dapat terbakar dalam bencana alam berupa kebakaran hutan, tetapi
penjelasan ini tidak relevan, karena ayat itu menjelaskan "kamu"
membakar, maksudnya dengan sengaja membakar. Kebakaran hutan terjadi
karena ketidak sengajaan.Ada kitab tafsir yang mencoba menjelaskan
bahwa ada sejenis pohon yang dapat dijadikan kayu bakar, walaupun
masih hijau. Tetapi akal kita mengatakan bahwa menurut qaidah bahasa
Arab, bentuk mudzakkar (laki-laki) asysyjaru-lakhdhar dalam ayat di
atas menunjuk kepada pohon secara keseluruhan, bukan hanya sekadar
sejenis pohon. Kalaulah yang dimaksud hanya sejenis, atau sebahagian
pohon, maka harus memakai bentuk muannats (perempuan), yaitu
asysyaratu-lkhadhra au. Jadi penafsiran dalam kitab tafsir trersebut
tidak/belum dapat memecahkan permasalahan adanya pertentangan antara
akal dengan wahyu. Ada yang menempuh pendekatan majazi (kiasan,
metaphor), yaitu hijau dimaknai dengan "subur".
Berangkat dari pendekatan majazi yakni hijau dimaknai dengan "subur",
maka tidak perlu ilmu bantu. Namun berangkat dari tekstual murni
Akhdhar (hijau) betul-betul hijau, maka bertolak dari tekstual murni
tsb ditempuhlah pendekatan kontekstual, yakni dalam konteks sains
(ilmu fisika, kimia, botani) dijadikan ilmu bantu. Para penganut
kelompok JIL sangat gandrung pendekatan kontekstual dan mengejek
"fundis" yang pakai pendekatan tekstual. Padahal, btw, the textual
approach, tends to view the phenomena merely on the level of core
element. On the other hand, the contextual approach reduces the
substantial element, for it tends to view the phenomena on the level
of periphery. As a matter of fact, methodologically speaking, this
combined-approach, the textual as well as the contextual approach
enables men to obtain the holistic picture of the phenomena and to
escape from its distorted-meaning.
Jadi masih ada upaya lain dengan paradigma seperti dijelaskan dalam
Seri 001, yaitu akal harus tunduk pada wahyu. Kalau terjadi
pertentangan antara akal dengan wahyu, maka akal harus mengalah.
Seperti telah dijelaskan dalam Seri 001, akal membutuhkan informasi
untuk berpikir. Akal harus mengalah kepada wahyu, oleh karena dalam
keadaan yang demikian itu adalah suatu isyarat bahwa akal membutuhkan
informasi yang lebih canggih untuk dapat merujuk akal itu kepada
wahyu. Dan informasi ini bersumber dari ilmu fisika, kimia, botani
dengan pengkhususan anatomi tumbuh-tumbuhan.
Reaksi thermonuklir di matahari mentransfer wujud tenaga nuklir
menjadi tenaga radiasi yang berwujud sinar gamma yang menembus ke
lapisan bagian luar dari matahari. Sinar gamma itu mengalami
penyusutan energi karena menembus lapisan matahari itu. Setelah sampai
di bagian luar sinar yang telah berdegradasi energinya itu dikenal
sebagai photon, lalu memancar ke sekeliling matahari, antara lain
menyiram permukaan bumi.
Tumbuh-tumbuhan dibangun oleh bahagian-bahagian kecil yang disebut
sel. Di dalam inti sel terdapat butir-butir pembawa zat warna. Yang
terpenting di antara butir-butir itu adalah pembawa zat warna hijau,
yang disebut khlorophyl, zat hijau daun (istilah ilmiyah dari bahasa
Yunani, Kholoros = hijau, Phyllon = daun). Khlorophyl ini menangkap
photon dari matahari dan mengubah wujud tenaga photon itu menjadi
tenaga potensial kimiawi dalam makanan dan bahan bakar hidrokarbon di
dalam molekul-molekul melalui proses photosynthesis. Dalam proses
photosynthesis oleh khlorophyl ini dari bahan baku CO2 dan air dan
photon, dihasilkan makanan dan bahan bakar hidrokarbon dan oksigen.
Selanjutnya melalui proses respirasi dalam tubuh manusia dan binatang
dan budak-budak tenaga, makanan dan bahan bakar itu dengan oksigen
dari udara berubahlah pula menjadi CO2 dan air. Demikianlah sterusnya
daur atau siklus itu berlangsung. Photosynthesis - CO2 dan air -
respirasi - makanan, bahan bakar, dan oksigen. Jadi tumbuh-tumbuhan
mengambil CO2 dan mengeluarkan oksigen. Sebaliknya manusia dan
binatang mengambil oksigen dan mengeluarkan CO2.
Secara gampangnya asysyajaru-lakhdhar itu adalah pabrik makanan /
bahan bakar dan oksigen. Bahan mentahnya adalah air dan CO2. Mesin
pabrik adalah photon dan proses dalam pabrik yang mengolah air dan CO2
menjadi makanan / bahan bakar dan oksigen disebut proses
photosynthesis (sintesa atau penyusunan oleh photon). Makanan dibakar
dengan oksigen dalam tubuh manusia, oksigen dihisap dari udara,
demikian pula bahan bakar dibakar dengan oksigen dalam mesin-mesin
pabrik. Oksigen disedot dari udara. Itulah ma'na
minasysyajari- lakhdhari naaran faidzaa antum minhu tuuqiduun.
Demikianlah ilmu fisika, kimia, botani dengan pengkhususan anatomi
tumbuh-tumbuhan membantu kita untuk dapat memahami S. Yasin, ayat 80
dengan baik, memberikan informasi yang cukup bagi akal kita, sehingga
menghilangkan pertentangan antara akal dengan wahyu.
Alhasil, jika informasi itu cukup lengkap bagi akal, akan hilanglah
pertentangan antara akal dengan wahyu. Pemakaian istilah
asysyjaru-lakhdhar, zat hijau pohon dalam Al Quran lebih tepat dari
istilah ilmiyah khlorophyl, zat hijau daun, oleh karena zat tersebut
bukan hanya terdapat dalam daun saja, melainkan pada seluruh bagian
pohon asal masih berwarna hijau, mulai akar yang tersembul asal masih
hijau, dari batang asal masih hijau, cabang asal masih hijau, ranting,
daun, sampai ke pucuk serta buah yang masih hijau.
Dari S. Yasin, ayat 80 itu, dengan penjelasan berupa informasi dari
ilmu fisika, kimia, botani dengan pengkhususan anatomi tumbuh-tumbuhan
sebagai ilmu bantu untuk dapat mengerti wahyu dengan baik dan jelas,
dapatlah kita lihat bagaimana pentingnya hutan. Bukan hanya sekadar
mengendalikan air di dalam tanah dan permukaan bumi, tidak banjir di
musim hujan dan tidak kering di musim kemarau. Akan tetapi, dan ini
yang lebih penting, adalah untuk terjadinya daur: tumbuh-tumbuhan
penghasil oksigen, yang membutuhkan CO2 - manusia dan binatang
penghasil CO2, yang membutuhkan oksigen. Maka terjadilah seperti yang
diungkapkan oleh bidal Melayu lama: seperti aur dengan tebing,
mutualis simbiosis.
Demikianlah uraian interaksi iman dan ilmu dalam ruang lingkup daur
CO2 dan oksigen dalam pengetahuan lingkungan khusus globalisasi
pencemaran thermal dan pentingnya hutan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 3 November 1991
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii- hmna.blogspot. com/2007/ 06/003-interaksi -iman-dan-
ilmu-pencemaran. html
============ ========= ========= ========= ===
BISMILLA-HIRRHMA- NIRRAHIYM
WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
419. Pandangan Marxisme Tentang Moral
Materialisme adalah buah pikiran yang bertitik tolak dari pangkal
kepercayaan bahwa tidak ada realitas di luar materi. Semua buah
pikiran materialisme, termasuk versi marxisme, bertujuan untuk
mengejar tercapainya hasrat kepuasan kehidupan bersifat materi.
Keadilan, kejujuran, kemerdekaan, persamaan, persaudaraan, dan semua
nilai moral yang lain dipertahankan bukan karena nilai-nilai yang
luhur itu an sich, melainkan hanya karena nilai-nilai itu kelihatannya
memberikan kontribusi dalam hal efisiensi bagi hasrat tercapainya
kesenangan dan keamanan dalam kehidupan yang bersifat materi. Artinya
moral dalam pandangan materialisme tidak lain hanyalah produk
sampingan belaka.
Dengan mengaplikasikan proses dialektis, Karl Marx dalam bukunya A
Contribution to the Critique of Political Economy mengatakan bahwa
ragam (mode) dari produksi dalam kehidupan bersifat materi menentukan
proses kehidupan politik, sosial- ekonomi dan intelektual. Manusia
tidak mempunyai kebebasan memilih dalam hal moralitas, oleh karena
sistem sosial-ekonomi telah menentukan gagasan tentang moral dan
ukuran etis sebagai barang-jadi. Bukanlah kesadaran moralitas manusia
yang menentukan kondisi sosial-ekonomi, melainkan sistem
sosial-ekonomilah yang menentukan kesadaran manusia. Setiap orang
harus menyesuaikan diri pada kode moral yang ditentukan sistem
sosial-ekonomi. Oleh karena masyarakat bergerak dalam irama
pertentangan kelas, maka moralitas itu senantiasa berupa moralitas
kelas. Singkat kata moral manusia ditentukan oleh sistem
sosial-ekonomi.
Syahdan, kita akan uliti buah pikiran marxisme yang berspekulasi bahwa
moral manusia ditentukan oleh sistem sosial-ekonomi. Marilah kita
perhadapkan spekulasi Marx ini pada sejarah Yunani Kuno, pada zaman
"negara kota" (city states). Dalam rentang waktu dari 725 SM. hingga
325 SM. tiga negara kota, yaitu Corinth, Sparta dan Athene menghadapi
sistem sosial-ekonomi yang sama, yaitu surplus penduduk. Jika
benarlah teori "ilmiyah" Marx yang mengatakan bahwa manusia tidak
mempunyai kebebasan memilih, oleh karena sistem sosial-ekonomilah yang
menentukan kesadaran moralitas dan kehidupan intelektual manusia, maka
niscaya ketiga negara kota itu akan menempuh pula upaya yang sama,
karena mempunyai sistem moral yang sama, yang dibentuk oleh sistem
sosial-ekonomi yang sama.
Namun sejarah berkata lain. Corinth emecahkan masalah surplus
penduduknya dengan emigrasi, mencari daerah pertanian ke seberang laut
di Siqiliyah (Sicily), Italia selatan, Thrace dll, di mana daerah
kolonisasi itu jarang penduduknya, atau penduduknya terlalu lemah
untuk dapat membendung invasi emigran dari Corinth itu. Koloni-koloni
Yunani itu memperluas daerah georgafis dari masyarakat Yunani tanpa
mengubah watak, sehingga pada hakekatnya merupakan reproduksi
kebudayaan (baca: sistem moral) dari negeri asalnya. Sparta menempuh
cara lain, yaitu menaklukkan negeri-negeri tetangganya seperti
Messene, dan untuk memelihara kekuasaannya atas negeri-negeri
taklukannya itu Sparta menjadi negara militer dalam arti struktur
organisasi dan SDM. Seluruh penduduknya dibina berwatak militer dari
atas sampai ke bawah. Caranya ialah dengan jalan menempa anak-anak di
dalam barak-barak militer, bahkan bayi-bayi yang dianggap kondisi
tubuhnya tidak mampu nanti menjadi militer, dibuang ke jurang-jurang.
Athene menempuh cara lain pula, yaitu dengan jalan pengkhususan
produksi pertanian untuk ekspor. Athene menempuh perbaikan sistem
sosial-ekonomi dengan jalan perdagangan. Athene mengalami zaman
keemasan di bawah Pericles. Kemajuan arsitektur memperindah Athene..
Kota ini menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan, serta kesenian dan
kesusatraan maju dengan pesat.
Alhasil, buah pikiran Marx bahwa moral sudah merupakan "barang jadi"
yang ditentukan oleh sistem sosial-ekonomi digugurkan oleh sejarah
ketiga negara kota Yunani Kuno itu. Sistem moral ketiga kota itu
bukanlah produk dari sistem sosial-ekonomi yang surplus penduduknya.
Sebaliknya sistem moral yang berbeda menghasilkan perubahan sistem
sosial-ekonomi yang berbeda pula dari ketiga kota itu, Corinth, Sparta
dan Athene seperti yang telah ditunjukkan di atas. Alhasil sejarah
Yunani Kuno menunjukkan bahwa bukanlah sistem sosial-ekonomi yang
selalu menentukan moral, tetapi dapat pula sebaliknya, sistem
morallah yang mengubah wajah sistem sosial-ekonomi.
Karl Marx mengkritik filosof yang hanya mengkaji saja. Marx
berpendirian tidak cukup mengkaji saja, melainkan hasil kajian itu
harus dipakai untuk mengubah masa depan. Sesuai dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tentang tujuan nasional dalam alinea ke-4,
bahwa negara harus melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, maka
perlu sekali negara menghabisi upaya revolusioner kaum komunis yang
ingin mengubah masa depan Indonesia berpedomankan marxisme. Itulah
guna dan pentingnya Tap MPRS No.XXV/MPRS/ 1966.
Dalam mengkaji masa lalu Abad Pertengahan di kontinen Eropa, Marx
melakukan dua kesalahan. Pertama, kesalahan teknis, yaitu kecerobohan
generalisasi. Bahwa apa yang terjadi di Eropa di Abad Pertengahan itu
Marx mengira berlaku di segala tempat dari dahulu hingga yang akan
datang. Kedua, kesalahan prinsipiel, yaitu kekafiran (atheisme),
menolak realitas di luar materi. Ada moralitas yang tidak bersumber
dari akar sejarah, melainkan bersumber dari wahyu yaitu ajaran akhlaq
yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul. Ajaran akhlaq tertinggi
adalah taqwa. Ketaqwaan memegang peranan yang sangat penting dalam
mengkaji masa lalu. Orang yang berpikiran jernih akan mengatakan bahwa
perombakan sistem sosial-ekonomi masyarakat Arab jahiliyah disebabkan
oleh ajaran akhlaq dan kemasyarakatan dari Risalah yang dibawakan oleh
Nabi Muhammad SAW. Ketaqwaan sangatlah perlu dalam mengkaji masa lalu
untuk hari esok. Firman Allah SWT dalam ayat yang berikut mengapit
perintah mengkaji itu dengan perintah taqwa:
-- YAYHA ALDZYN AMNWA ATQWA ALLH WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD WATQWA ALLH
(S. ALHSYR, 59:18), dibaca:
-- Ya-ayyuhal adzi-na a-manut taquLla-ha waltanzhur nafsum ma-
qaddamat lighadiw wa taquLla-ha (59:18), artinya:
-- Hai orang-orang beriman, taqwalah kepada Allah dan mestilah orang
mengkaji masa lalu untuk masa depan, dan taqwalah kepada Allah (s.
berkumpul). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 16 April 2000
[H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii- hmna.blogspot. com/2000/ 04/419-pandangan -marxisme-
tentang-moral. html
############ ######### ######### ######### ######### ######### #
--- Pada Sen, 8/9/08, Ulil Abshar-Abdalla
menulis:
Hidup bisa teratur hanya dengan agama? -- Surat kepada seorang kawan
Hamid yang baik,
BETULKAH kehidupan manusia bisa teratur hanya dengan agama? Apakah
kehidupan manusia tidak mungkin dibuat begitu rupa menjadi tertib
dengan hukum-hukum dan peraturan yang mereka buat sendiri berdasarkan
akal, pengalaman, dan tahap kematangan mental-intelektual mereka
sendiri?
Apakah jalan satu-satunya menjadi manusia bermoral dan etis hanya
melalui agama? Apakah moralitas yang berasal dari sumber di luar agama
sama sekali tak bisa menjadi landasan untuk mengatur kehidupan
manusia?
Beberapa kalangan dalam agama, terutama Islam, mengajukan sebuah
logika yang menarik. Bukankah, tanya mereka, Tuhan lebih tahu
tinimbang manusia? Bukankah Tuhan Maha Tahu tentang segala-galanya?
Dengan demikian, bukankah hukum-hukum dan peraturan yang diberikan
oleh Tuhan lebih baik ketimbang hukum yang dibuat manusia sendiri?
Sejak lama saya beregelut dengan pertanyaan ini, dan perkenankan saya
mengajukan sebuah refleksi berikut ini. Jawaban saya ini mungkin saja
terasa "keras" di telinga sebagian kalangan beragama; tetapi saya
harus mengatakannya. Sekurang-kurangnya apa yang saya sampaikan ini
bisa menjadi semacam "pengimbang" bagi pendapat yang umum diikuti oleh
umat Islam saat ini.
Pertama-tama, perkenankan saya mengatakan: sama sekali tidak benar
bahwa jalan satu-satunya menjadi manusia bermoral dan hidup secara
etis hanya melalui agama. Seseorang yang tak memeluk agama apapun di
dunia ini bisa menjadi manusia yang baik dan hidup secara bermoral.
Bahkan dalam pandangan sebagian kaum Mu'tazilah, kelompok rasionalis
yang sudah lahir dalam sejarah Islam sejak seribu tahun lebih yang
lalu, sumber moralitas pertama-tama adalah akal manusia. Wahyu hanya
datang belakangan untuk mengkonfirmasi moralitas yang sudah diketahui
oleh akal manusia itu.
Saya duga orang beragama memiliki asumsi tersembunyi: jika seseorang
tak mengikuti ajaran agama apapun, alias agnostik atau ateis, yang
bersangkutan akan menjadi orang yang secara moral bejat. Misalnya:
yang bersangkutan suka mencuri harta orang lain, menyetubuhi setiap
perempuan yang ia jumpai di jalan secara seenaknya seperti binatang,
mengganggu orang lain tanpa peduli, membunuhi manusia seenak udelnya
sendiri, dsb.
Walhasil, orang yang tak beragama atau anti-agama akan dengan
sendirinya bertingkah-laku seenaknya tanpa ikatakan apapun.
Asumsi seperti ini, mohon maaf, adalah asumsi yang bodoh sekali dan
tak melihat dunia sekitar. Orang beragama pura-pura tak tahu bahwa
tanpa dalil-dalil agama sekalipun, manusia menciptakan aturan yang
kompleks untuk mengatur kehidupan mereka agar tidak kacau. Ribuan
hukum diciptakan di dunia ini tanpa keterlibatan agama atau wahyu.
Ambillah contoh yang sangat sederhana dari kehidupan modern sekarang.
Setelah ditemukannya pesawat terbang oleh Wilbur dan Orville Right
pada 1903, muncullah konvensi, hukum, dan peraturan internasional yang
sengaja diciptakan untuk menjamin tegaknya industri penerbangan yang
akan menjaga keselamatan penumpang.
Di bawah PBB, misalnya, ada sebuah lembaga yang bertanggung jawab
untuk mengeluarkan sejumah regulasi dan "code of conduct" dalam
penerbangan internasional, yaitu ICAO (International Civil Aviation
Organization) yang bermarkas di Montreal, Kanada.
Berdasarkan hukum dan regulasi internasional inilah, misalnya, Uni
Eropa melarang perusahaan penerbangan nasional kita, Garuda, untuk
memasuki wilayah Eropa. Larangan ini juga berlaku untuk beberapa
penerbangan dari negeri-negeri lain, seperti Angola. Uni Eropa
mengeluarkan larangan ini pada bulan Juni 2008 yang lalu dan berlaku
efektif sejak 6 Juli 2008.
Hukum dan peraturan itu sama sekali tidak lahir dari agama, dan
ditulis bukan dengan merujuk pada ayat-ayat Kitab Suci agama tertentu.
Tokoh-tokoh agama sama sekali tak terlibat sedikitpun dalam perumusan
dan pembuatan peraturan ini. Tak ada seorang fikih pun yang terlibat
di sini, sebab saat fikih ditulis oleh ulama Islam ratusan tahun yang
lalu, teknologi dan industri penerbangan belum muncul.
Jika anda mengelola perusahaan penerbangan, maka yang disebut "hidup
bermoral" dalam konteks usaha anda itu adalah mengikuti peraturan
internasional dalam bidang penerbangan itu. Semua orang, baik beragama
atau tidak, diikat oleh moralitas tersebut. Jia ia melanggar moralitas
itu, ia akan dikeluarkan dari komunitas penerbangan internasional,
sebab akan membahayakan keselamatan penumpang.
Taruhlah ada seorang pilot yang kebetulan juga seorang agnostik atau
ateis yang tak percaya pada agama apapun, apakah dia langsung akan
menyetir pesawat terbang dengan seenaknya saja tanpa mengikuti
peraturan internasional? Kan tidak toh?
Ribuan peraturan dan "code of conduct" diciptakan oleh manusia modern
untuk membuat hidup mereka teratur. Peraturan ini dibuat tanpa merujuk
sedikitpun pada ajaran agama. Peraturan ini bisa kita temukan dalam
semua bidang kehidupan manusia modern.
Kalau anda hidup di Amerika dan kebetulan anda adalah penggemar
mancing-memancing, anda akan menjumpai aturan yang begitu ketat sampai
ke hal yang sederhana itu. Anda, misalnya, tak boleh memancing ikan
yang beratnya kurang dari standar tertentu yang ditentukan oleh hukum
negara bagian setempat.
Apakah aturan memancing itu dibuat manusia dengan merujuk pada
ayat-ayat dalam Kitab Suci agama tertentu? Jelas tidak. Aturan ini
dibuat semata-mata karena pertimbangan kepentingan umum, karena akal
manusia menghendaki kehidupan yang baik.
Contoh sederhana ini bisa diperluas ke bidang-bidang lain. Intinya:
moralitas agama memang memainkan peranan dalam mengatur kehidupan
manusia dalam batas-batas tertentu; tetapi untuk sebagian besar,
kehidupan manusia diatur oleh hukum dan peraturan sekuler yang dibuat
oleh manusia sendiri tanpa merujuk pada agama. Peraturan agama
hanyalah setitik saja di tengah "lautan" aturan yang dibuat oleh
manusia.
Lihatlah parlemen negeri-negeri demokrasi di seluruh dunia yang
memproduksi ribuan hukum setiap tahun guna mengatur kehidupan manusia
agar tertib, agar hak-hak seseorang tidak dilanggar oleh orang lain.
Khazanah fikih Islam tak ada apa-apanya dibanding dengan khazanah
hukum sekuler yang terus berkembang makin kompleks itu. Khazanah hukum
sekuler jauh lebih kaya ketimbang hukum agama manapun, termasuk Islam.
Orang beragama terlalu "ge-er" sekali manakala beranggapan bahwa tanpa
aturan agama, hidup manusia akan kacau-balau. Mereka beranggapan bahwa
manusia begitu jahatnya sehingga kalau tak diatur oleh hukum agama
akan menjadi binatang buas. Sebagaimana sudah saya tunjukkan, asumsi
ini salah besar.. Manusia, dengan atau tanpa agama, akan menciptakan
aturan-aturan yang kompleks untuk membuat hidupnya teratur.
Salah satu cara yang mudah untuk mengetahui apakah manusia hidup
teratur atau tidak sangatlah sederhana, yaitu apakah ia mengikuti
hukum atau tidak. Makin masyarakat menjadi "law abiding society",
masyarakat yang taat hukum, maka makin tertib dan teratur pula
masyarakat itu. Sekarang kita lihat sendiri, mana masyarakat yang
paling tertib karena taat hukum, karena hukum ditegakkan dengan baik:
apakah masyarakat sekuler seperti kita lihat di negeri-negeri Barat,
atau masyarakat religius, misalnya, di negeri Muslim?
Marilah kita lihat dengan sederhana saja soal lalu-lintas di kota
sebuah negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu
Jakarta. Bandingkan saja kota Jakarta dengan kota di sebuah negeri
sekuler, taruhlah kota New York yang tak kalah padat dengan Jakarta.
Dari dua kota itu, mana yang lebih teratur?
Sudah tentu tidak semua kota di dunia dengan mayoritas penduduk Muslim
kacau balau seperti Jakarta, Islamabad, Karachi atau Kairo. Kuala
Lumpur, misalnya, sangat teratur dan tak kalah dengan kota-kota di
negeri maju yang lain. Tetapi jika kita tengok gambar secara umum,
kota-kota negeri-negeri yang maju di Eropa yang sekuler itu jauh lebih
indah, teratur, taat hukum, dan relatif terkontrol tingkat polusinya
ketimbang kota-kota di negeri-negeri Muslim.
Saya akan bertanya kepada umat beragama, terutama Islam: apakah kota
negeri-negeri sekuler kacau balau dan kehidupan masyarakat di sana
hancur berantakan karena mereka tak mengikuti hukum agama?
Ada salah paham yang berkembang luas di kalangan sebagian kalangan
Islam, yaitu bahwa liberalisme sama saja dengan hidup bebas tanpa
aturan (tentu maksudnya aturan agama). Pandangan semacam ini hanya
bisa dipercaya oleh orang-orang yang tak mempelajari dengan baik
bagaimana praktek sosial dalam masyarakat liberal.
Kalau kita tengok negeri-negeri dengan tradisi demokrasi-liberal yang
mapan, kita akan tahu bahwa di sana hukum jauh lebih ditegakkan
ketimbang di negeri-negeri otoriter (termasuk di dalamnya
negeri-negeri Islam sendiri).
Mereka yang hidup di negeri-negeri seperti itu akan tahu bagaimana
ketatnya hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sekedar gambaran
sederhana: jika anda hidup di Amerika Serikat, lalu tengah malam
tetangga anda melakukan keributan yang mengganggu tidur anda, maka
anda bisa menelpon 911 dan memanggil polisi untuk mengingatkan
tetangga anda itu.
Jika anda mengendarai mobil, anda tak bisa memarkir di sembarang
tempat. Jika anda memarkir mobil yang disediakan untuk orang-orang
"dis-abled" (orang cacat, maaf memakai istilah ini), anda bisa terkena
denda yang sangat besar, sekitar US $200 (hampir dua juta rupiah).
Kehidupan sosial begitu tertib di negeri-negeri liberal yang maju,
persis karena adanya "rule of law". Kebalikan dari pandangan sebagian
kalangan Islam selama ini, negara demokrasi-liberal adalah sebuah
negara dengan ciri-ciri tertentu, antara lain "rule of law", artinya
kedaulatan hukum, bukan negeri yang bebas dari hukum.
Perbedaan mendasar antara negara demokrasi-liberal denga negeri
syariat seperti dikehendaki oleh sebagian kalangan Islam adalah
sebagai berikut. Dalam negara demokrasi-liberal, hukum dibuat
berdasarkan proses politik yang disebut dengan "deliberasi publik",
atau perdebatan publik. Sebelum sebuah hukum ditetapkan oleh parleman
melalui proses yang disebut "enactment", ia harus diuji terlebih dulu
melalui perdebatan publik.
Ini berbeda dengan hukum syariat yang dirumuskan secara "sepihak" oleh
oligarki sarjana ahli hukum agama (disebut dengan "fuqaha", bentuk
jamak dari kata "faqih"). Hukum syariat seperti kita kenal dalam Islam
mempunyai ciri khas yang lebih elitis ketimbang hukum sekuler dalam
negara demokrasi modern.
Beda yang lain: hukum sekuler bisa dipersoalkan dan diperdebatkan
tanpa yang bersangkutan khawatir dituduh kafir atau murtad. Ini
berbeda dengan hukum syariat yang mengkleim berasal dari Tuhan
sehingga siapa saja yang mencoba mempersoalkannya bisa terkena tuduhan
kafir. Hukum syariat rentan menjadi lahan subur untuk tumbuhnya
otoritarianisme politik (meskipun tidak selalu demikian), persis
karena kleimnya
sebagai "hukum suci" yang secara umum tak boleh diperdebatkan,
terutama aspek-aspek di sana yang dianggap "qath'i" atau pasti.
MASALAH yang selalu menghantui pikiran orang beragama, terutama Islam,
adalah masalah seks dan perempuan. Orang beragama berasumsi bahwa
tanpa hukum dan moralitas agama, kehidupan seksual manusia akan kacau
balau. Apakah asumsi ini benar?
Saya khawatir, umat Islam diam-diam mempunyai anggapan bahwa jika
perempuan tak memakai pakaian yang menutup aurat, maka dia akan
dimangsa oleh laki-laki, seperti ayam betina dimangsa oleh ayam jago
di sembarang tempat.
Sementara itu, aurat perempuan, menurut hukum Islam yang "standar",
adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Dengan
demikian, perempuan yang berpakaian sopan dan rapi tetapi tidak
menutup seluruh tubuhnya (misalnya rambutnya masih tampak kelihatan),
dia dianggap sebagai tak menutup aurat. Seorang imam dari Australia
yang berasal dari Mesir pernah melontarkan statemen beberapa waktu
lalu bahwa seorang perempuan yang tak menutup seluruh tubuhya,
"head-to-toe" , sama dengan daging yang tak ditutup. Maksudnya, rawan
dirubung "lalat".
Mari kita tinjau sekali lagi fakta-fakta empiris di lapangan. Apakah
betul demikian?
Tengok saja kehidupan sehari-hari di kota Jakarta, tak usah terlalu
jauh ke negeri normal seperti Amerika atau Eropa Barat. Lihatlah para
perempuan yang bekerja di kantor-kantor, baik pemerintah atau swasta.
Sebagian besar mereka mamakai baju biasa, bukan baju penutup aurat
seperti dikehendaki oleh hukum Islam. Apakah perempuan-perempuan itu
langsung menjadi "mangsa" laki-laki? Apakah kehidupan seksual manusia
Jakarta langsung kacau-balau?
Meskipun tingkat keamanan di kota Jakarta tak sebaik di Boston,
misalnya, tetapi kita menyaksikan sendiri bagaimana perempuan bisa
berjalan dengan aman di tempat-tempat umum, walaupun tak memakai baju
yang menutup seluruh aurat. Memang ada insiden di sana-sini, misalnya
pemerkosaan. Tetapi secara umum, ruang publik di kota Jakarta dan
kota-kota lain sangat aman bagi perempuan, walaupun mereka tak memakai
pakaian yang sesuai dengan tuntutan hukum Islam mengenai aurat.
Saya sudah pernah menulis bahwa asumsi sebagian umat Islam begitu
buruknya sehingga memandang laki-laki seolah-olah sebagai "binatang
buas" yang haus seks, seolah-olah jika melihat perempuan yang tak
menutup aurat akan langsung menerkamnya dan ingin bersetubuh dengannya
"on the spot". Sebegitu burukkah asumsi umat beragama yang konon
menganggap manusia sebagai "citra Tuhan", imago Dei (dalam Quran
ditegaskan "tsumma sawwahu wa nafakha fihi min ruhihi" QS 32:9)?
Jangan salah paham. Isteri saya memakai jilbab, karena, berdasarkan
tradisi di mana ia tumbuh, jilbab dianggap sebagai pakaian yang bisa
menjaga martabat perempuan. Tetapi isteri saya tidak menganggap bahwa
pakaian-pakaian lain di luar jilbab tidak bisa menjaga kehormatan
perempuan dan kepantasan publik.
DENGAN menulis ini semua bukan berarti saya anti-agama. Saya tetap
seorang Muslim. Tetapi saya mencoba menjadi seorang beragama yang
rendah hati. Saya beragama, tetapi tak menganggap bahwa agama adalah
satu-satunya jalan menuju kehidupan yang tertib. Oleh karena itu, saya
menghormati orang-orang yang agnostik dan ateis, dan tak beranggapan
bahwa manusia yang agnostik akan dengan sendirinya menjadi manusia
bejat.
Saya berteman dengan banyak orang-orang yang agnostik: mereka tak
kalah humanisnya dengan manusia beragama. Mereka manusia yang
bermartabat dan menghormati manusia lain. Bahkan dalam banyak hal,
mereka jauh lebih humanis ketimbang manusia beragama.
Bagaimana anda bisa menjelaskan tingkah-laku orang yang konon beragama
tetapi menyerang secara fisik, membunuhi, dan mempersekusi orang-orang
yang berbeda pandangan dan keyakinan seperti dilakukan oleh
orang-orang beragama, sebagaimana kita baca dalam sejarah Kristen dan
Islam selama ini?
Yang menarik, hanya di negeri sekulerlah semua agama dan sekte dijamin
dengan bebas. Semua sekte dan mazhab bisa mekar dengan bebas di tanah
Amerika, misalnya. Sementara di negeri-negeri yang konon "relijius"
seperti Indonesia, hak-hak kaum minoritas seperti Ahmadiyah, misalnya,
justru ditindas dengan seenaknya oleh orang-orang yang mengaku
beragama.
Saya harus menambahkan catatan sebagai "caveat" untuk surat saya ini.
Istilah "agama" di sini saya pakai dalam konteks yang terbatas, yaitu
agama sebagaimana ditafsirkan oleh orang-orang bigot, fanatik, dan
totaliter.
Saya ingin menutup surat ini dengan mengatakan bahwa setiap bentuk
"bigotry", fanatisme, dan totalitarianisme adalah jahat dan berlawanan
dengan akal sehat manusia, entah sumbernya dari agama atau non-agama.
Totalitarianisme dan fanatisme agama sama saja bahanya dengan
totalitarianisme sekuler seperti dipraktekkan oleh Nazi dan sistem
totaliter di Uni Soviet dulu. Di mata saya, kaum bigot dan totaliter
di mana-mana sama saja: mereka adalah ancaman bagi manusia.
Mohon maaf jika surat saya ini terlalu berkepanjangan dan membosankan.
Ulil Abshar Abdalla
Buka Bersama dan Taraweh Keliling
Kegiatan Buka Bersama dan Taraweh Keliling yang kedua kalinya di Bulan Ramadhan 1429 H ini dilaksanakan di Rumah Tirto, SPd., Wakil Ketua PCM Adipala, Jalan Bolot, Cirungkung Desa Glempangpasir Adipala Cilacap. Kegiatan dilaksanakan pada hari Ahad, 14 September 2008 yang dimulai pada pukul 17.00 - 21.00 WIB.
Adapun peserta yang hadir juga hamper sama dengan kegiatan yang pertama, cumin pesertanya lebih banyak diikuti oleh Warga dan simpatisan Muhammadiyah di sekitar Adipala Timur, yang meliputi : Desa Glempangpasir, Pedasong, dan Welahan Wetan, ditambah dengan pengurus PCM yang lainnya yang tersebar di Kecamatan Adipala.
Drs. Wresni Wardjono, selaku ketua PCM Adipala, dalam sambutannya menekankan tentang pentingnya peningkatan keimanan, ketakwaan, dan amal sholeh selama bulan puasa. Karena menurutnya, janji Alloh SWT tidak akan pernah ingkar, yaitu apa yang kita lakukan akan mendapat balasan yang setimpal dari Alloh SWT.
Selain itu, Wresni Wardjono juga menekankan pentingnya peningkatan dan penguasaan akan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) bagi PCM khususnya dan seluruh warga Muhammadiyah Kecamatan Adipala pada umumnya.
“Karena dengan penguasaan IPTEK kita tidak akan ketinggalan dengan kemajuan jaman,” katanya.
Adapun dalam tausiyahnya, Taufikkurrohman, SPd. selaku Majelis Dikdasmen PCM Adipala, mengambil tema Jompo. Tema ini diambil dari apa yang sudah dicontohkan oleh Alqomah dalam hubungannya dengan orang tuanya yang sudah jompo. Dimana di akhir ajalnya Alqomah mendapat ampunan dari orangtuanya yang jompo tersebut, dan dia akhirnya meninggal dengan tenang.
Jumat, 12 September 2008
Nabi Muhammad Manusia Terbaik di Dunia
sumber :
mailis syiar-islam@yahoogroups.com
13 September 2008
Assalamu’alaikum wr wb,
Berikut satu tulisan dari buku ”Iman, Islam, dan
Ihsan” yang bisa didownload di:
http://syiarislam.wordpress.
Nabi Muhammad Manusia Terbaik di Dunia
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada suri teladan
yang baik bagimu yang mengharap rahmat Allah dan
kedatangan hari kiamat dan banyak menyebut Allah.”
[Al Ahzab:31]
Itulah firman Allah yang menyatakan kemuliaan Nabi
Muhammad. Bahkan non Muslim seperti Sir George Bernard
Shaw dalam buku 'The Genuine Islam,' Vol. 1, No. 8,
1936 menyatakan bahwa jika ada agama yang akan
menguasai Inggris atau Eropa dalam abad mendatang
mungkin itu adalah Islam. Muhammad adalah orang yang
mengagumkan dan pantas disebut Penyelamat Manusia (the
Savior of Humanity). Begitu katanya.
Mahatma Gandhi, dalam pernyataan yang diterbitkan di
“Young India”, tahun 1924 menyatakan bahwa
bukanlah pedang yang menyebarkan Islam. Tapi
kepedulian, keberanian, dan keimanan Nabi kepada Tuhan
yang menyebabkan itu. Ketika saya menutup buku jilid
kedua dari Kisah Nabi Muhammad, saya menyesal karena
tidak ada lagi yang dapat dibaca.
Dan memang Muhammad yang kala itu pengikutnya hanya
istri dan keponakannya, Ali, tidaklah mungkin bisa
menyebarkan Islam dengan pedang. Karena kepribadiannya
dan kebenaran Islamlah maka orang-orang berbondong
memeluk Islam. Jika pun ada perang, maka itu tak lebih
dari membela diri sebagaimana diketahui bahwa 3 perang
besar pertama seperti perang Badar, Uhud, dan Khandaq
terjadi di kota tempat tinggal ummat Islam di Madinah
ketika mereka diserang kaum kafir Mekkah bersama
sekutunya. Begitu pula perang Mu’tah terjadi di
tanah Arab ketika tentara Romawi yang beragama Kristen
menyerang untuk menghancurkan Islam.
Michael H Hart dalam buku 'The 100, A Ranking of the
Most Influential Persons In History,' New York, 1978
menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan pertama 100
orang paling berpengaruh di dunia mengalahkan Isaac
Newton, Paulus, dan Yesus.
Menurut Michael H Hart, kebanyakan dari orang-orang
besar yang ada dalam bukunya menjadi besar karena
kebetulan lahir di negara-negara maju yang jadi pusat
peradaban dunia. Bahkan tanpa ada mereka pun tetap
saja negara-negara tersebut akan maju dan akan ada
banyak orang yang akan menggantikannya untuk memimpin
kemajuan tersebut.
Sebagai contoh Napoleon Bonaparte yang memimpin
Perancis untuk menguasai Eropa itu terjadi karena
Perancis adalah memang negara Eropa yang besar dan
kuat. Napoleon tidak bisa melakukan itu jika Perancis
adalah negara yang kecil dan lemah. Dan pada akhirnya,
Napoleon pun gagal dan meninggal dalam pengasingan.
Yesus pun meski merupakan penyebar agama Kristen yang
pertama, namun dia ditangkap dan disalib oleh tentara
Romawi. Jumlah pengikutnya saat Yesus meninggal tidak
banyak. Paulus lah yang berhasil mengembangkan agama
Kristen sehingga diterima bangsa Eropa.
Sebaliknya, Nabi Muhammad lahir di kawasan yang
terbelakang. Mekkah kota kelahiran Nabi adalah kota
kecil di pinggiran yang jauh dari pusat perdagangan,
seni, dan ilmu pengetahuan. Saat itu yang jadi negara
besar dalah Romawi dan Persia. Ada pun bangsa Arab
adalah bangsa jajahan yang terbelakang dengan jumlah
penduduk yang hingga sekarang pun tidak banyak serta
terpecah menjadi berbagai suku yang saling perang satu
sama lain.
Pada saat Nabi lahir, kebanyakan bangsa Arab menyembah
berhala. Selama 3 tahun pertama Nabi Muhammad menyeru
Islam pada keluarga dan teman dekatnya. Baru pada
tahun 613 Nabi menyiarkan Islam secara terbuka
sehingga Islam mulai menyebar. Penguasa Mekkah yang
kafir pun menganggap Nabi Muhammad sebagai bahaya dan
ingin membunuhnya sehingga Nabi Muhammad hijrah ke
Madinah. Setelah 3 kali serangan kaum kafir Mekkah
dalam perang Badar, Uhud, dan Khandaq gagal, Nabi
Muhammad dan pengikutnya menaklukkan kota Mekkah tahun
630. Pada saat meninggal tahun 632 Nabi Muhammad yang
bertahun-tahun pada masa awal kenabiannya ditentang
penduduk kafir Quraisy dalam tempo 23 tahun sanggup
menyatukan bangsa Arab di dalam Islam.
Bangsa Arab bukan hanya sanggup menahan serangan
tentara Romawi dan Persia, bahkan sanggup
menaklukkannya. Hingga saat ini ibukota Romawi,
Constantinople, di bawah kepemimpinan negara Islam dan
berganti nama jadi Istambul (Turki). Begitu pula
Baghdad yang sebelumnya jadi ibukota Persia ada di
negara Islam Iraq.
Yang harus diingat adalah bahwa peperangan yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad bukanlah peperangan yang
penuh darah seperti yang dilakukan tentara Salib yang
membantai semua ummat Islam yang mereka taklukkan
seperti dalam film ”Kingdom of Heaven” (dibintangi
Orlando Bloom). Peperangan yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad seperti pada perang Badar, Uhud, Khandaq, dan
Tabuk terjadi karena mereka membela diri dari serangan
kaum kafir. Peperangan terhadap kerajaan Romawi dan
Persia justru membebaskan daerah jajahan kerajaan
tersebut sehingga mereka lepas dari penindasan
kerajaan Romawi dan Persia yang membebani rakyat
dengan pajak yang besar. Pada saat penaklukan kota
Mekkah misalnya boleh dikata tidak ada peperangan yang
penuh darah. Tapi penyerahan yang penuh kedamaian.
Dalam 100 tahun sejak kematian Nabi Muhammad, Kerajaan
Islam menyebar dari India, Pakistan, Iran, Timur
Tengah, Afrika Utara, Albania, Yugoslavia, hingga
Spanyol sepanjang 7.600 km dengan lebar 3.200 km di 3
benua! Ini adalah satu imperium terbesar yang pernah
ada dalam sejarah. Meski Spanyol kembali dikuasai
Katolik setelah 7 abad, namun Islam tetap berkuasa di
negara-negara Afrika Utara, Timur Tengah, Iran, dan
Pakistan.
Islam bukan hanya maju secara politik dan militer.
Dalam ilmu pengetahuan pun tiba-tiba bangsa Arab yang
dulunya terbelakang di bawah ilmuwan Yunani atau
Persia tiba-tiba jadi pemimpin. Banyak penemuan Islam
/ ilmuwan Arab/Islam yang diakui dunia hingga
sekarang.
Sebagai contoh, sistem angka yang dipakai dunia
sekarang adalah sistem angka Arab (Arabic Numeral)
menggantikan sistem angka Romawi (Roman Numeral) yang
kaku. Dengan angka Arab anda dapat menulis
93.567.794.214.698 dengan mudah. Angka tersebut tidak
bisa ditulis dengan sistem angka Romawi.
Dalam ensiklopedi Microsoft Encarta disebut bahwa
dalam dunia Islam yang menyebar ke Barat hingga
Spanyol banyak dihasilkan penemuan Ilmiah seperti
angka Arab:
===
The Islamic world, which in medieval times extended as
far west as Spain, also produced many scientific
breakthroughs. The Arab mathematician Muhammad
al-Khwārizmī introduced Hindu-Arabic numerals to
Europe many centuries after they had been devised in
southern Asia.
===
Astronom Arab (baca Astronom Muslim) juga banyak yang
menemukan dan menamakan bintang seperti Aldebaran,
Altair, dan Deneb. Al Haytham (Alhacen) yang
mengantarkan ilmu Optic juga menemukan metode Ilmiah
yang menekankan kepada observasi, eksperimen, dan
pencatatan yang akurat.
Singkatnya, Nabi Muhammad bukan hanya sekedar pemimpin
agama atau Nabi. Namun beliau juga adalah pemimpin
militer, pemimpin negara, dan juga peletak fondasi
berkembangnya ilmu pengetahuan Islam (Islam Golden
Age) di kalangan ummat Islam.
Hanya dalam waktu 23 tahun, Nabi Muhammad berhasil
merubah bangsa Arab yang bodoh dan terbelakang serta
terjajah menjadi bangsa yang cerdas dan terkemuka di
dunia mengalahkan 2 super power dunia: Romawi dan
Persia. Ini merupakan satu teladan yang harus bisa
ditiru oleh pemimpin-pemimpin Islam!
Tak heran jika seorang Non Muslim seperti Michael H
Hart pun mengakui Nabi Muhammad sebagai orang nomor
satu di dunia mengalahkan Yesus dan manusia-manusia
lain di dunia.
Jika Non Muslim saja bersikap seperti itu, maka ummat
Islam yang dalam syahadahnya mengakui Muhammad sebagai
utusan Allah juga harus mengakui bahwa Nabi Muhammad
adalah manusia paling sempurna yang maksum
(terpelihara dari kesalahan). Oleh karena itu ummat
Islam harus mempelajari siroh/sejarah Nabi dan
mengikuti sunnah Nabi.