Oleh : *Deni al Asy'ari*
Mantan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Bayang-bayang keterlibatan Muhammadiyah secara praktis ke dalam ruang
politik belakangan ini semakin kentara. Walaupun beberapa pimpinan di
organisasi modernis ini menyangkal keterlibatan maupun keberpihakan
Muhammadiyah dalam politik praktis, faktanya dengan berdirinya Partai
Matahari Bangsa (PMB) yang didirikan oleh sebagian besar Angkatan Muda
Muhammadiyah dan didukung penuh oleh Ketua Umum Pusat Pimpinan
Muhammadiyah Prof Dr H Din Syamsudidin menunjukkan fakta sebaliknya.
Apalagi, Ketua Umum Pusat Muhammadiyah yang merupakan simbol dan kunci
bagitegaknya gerakan kultural Muhammadiyah secara terang-terangan dan
terus-menerus melibatkan dirinya dengan berbagai pernyataan yang
menunjukkan kesiapannya untuk menjadi petinggi republik ini (presiden
atau wakil presiden), sekaligus dengan memberikan dukungan penuh terhadap
kehadiran PMB. Memang fenomena yang demikian tidak semuanya didukung oleh
pimpinan dan warga Muhammadiyah, tetapi warga Muhammadiyah nyatanya
tidak dapat mengelak akan adanya bayang-bayang pergeseran posisi dan peran Muhammadiyah sebagaierakan kultural yang idealnya mengabdi untuk
kepentingan bangsa dengan mengayomi semua partai politik dengan posisi yang sama selama bertujuan untuk mendorong *amar makruf nahi munkar* ke arah gerakan politik.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, adanya upaya pemihakan
yang dilakukan oleh salah satu pimpinan Muhammadiyah, seperti Ketua Umum
Pusat Muhammadiyah terhadap salah satu partai politik. Hal ini setidaknya
bisa kita cermati melalui berbagai pernyataan yang diberikan oleh Ketua Umum
Pusat Muhammadiyah terhadap PMB dalam berbagai kegiatan partai yang
berlambang matahari merah ini yang secara terbuka ditafsirkan
memberikan dukungan terhadap partai tersebut.
Langkah-langkah tersebut tentu saja tidak ada salahnya. Tetapi,
berpijak pada *khittah* Muhammadiyah yang menjunjung tinggi etika berpolitik
atau meminjam istilah Prof Dr HM Amien Rais yang menggunakan prinsip *High
Politic*, tentu saja manuver maupun berbagai pernyataan yang
dikeluarkan oleh petinggi Muhammadiyah tersebut akan dapat mencederai cita-cita dan
idealisme Muhammadiyah karena dinilai menunjukkan keberpihakan terhadap
parpol tertentu.
Muhammadiyah sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh HM Junus Anis,
salah satu pimpinan Muhammadiyah, Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Artinya,
Muhammadiyah tidak akan pernah digadaikan atau terjual oleh kepentingan
politik atau menjadi parpol.
Ungkapan ini muncul akibat kejengkelan HM Junus Anis yang begitu
mudahnya pimpinan Muhammadiyah tergoda dengan kepentingan politik. Melalui
*khotbah iftitah* pada muktamar ke-35 dan milad setengah abad Muhammadiyah,
beliau menjawab dengan ketus: ''Silakan makan, kalau memang *doyan*, tapi awas
kalau nanti *keleleden*: ditelan tidak masuk, dilepeh tidak keluar.
Ingat,Muhammadiyah bukan dan tidak akan menjadi partai politik. Sekali
Muhammadiyah tetap Muhammadiyah: selalu kukuh untuk melakukan dakwah
*amar makruf nahi munkar* untuk kebaikan semua masyarakat sebagai bagian dari
gerakan kultural.''
Begitu kokoh dan kuatnya pendirian HM Junus Anis untuk menjaga
eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan kultural. Bahkan, ketika Ahmad Syafii
Maarif melanjutkan kepemimpinan Muhammadiyah sangat tampak komitmen beliau
untuk meneruskan semangat dan cita-cita para pendahulu pimpinan Muhammadiyah
yang ingin meletakkan Muhammadiyah untuk kepentingan bangsa.
Dengan demikian, dengan kokoh beliau masuk ke dalam semua parpol tanpa
menunjukkan sikap keberpihakannya terhadap salah satu parpol. Dengan
adanya sikap yang demikian, Muhammadiyah akan selalu dipandang dan dilihat
sebagai organisasi besar tempat banyak orang mengadu dan meminta petunjuk.
Akan tetapi, tentunya akan berbeda jika Muhammadiyah sudah menunjukkan
keberpihakannya terhadap salah satu parpol atau masuk dalam ruang
politik praktis. Hal ini tanpa kita sadari akan memperkecil keberadaan dan
peran organisasi Muhammadiyah itu sendiri.
Muhammadiyah bagi masyarakat tidak lagi menjadi bagian atau kepemilikan
dari masyarakat secara luas, melainkan sebagai bagian atau kepemilikan dari
sebagian atau sekelompok orang atau partai politik tertentu. Dengan
demikian, Muhammadiyah tidak bisa menjadi tenda bangsa yang seharusnya
mengayomi semua kepentingan demi menjalankan misi dakwah *amar makruf
nahi munkir*.
Apalagi, kita menyadari dunia politik (praktis) bukanlah dunia yang
sesederhana sebagaimana kita memandangnya. Meminjam pendapatnya Sukardi
Rinakit, misalnya, bahwa dunia politik adalah dunia yang becek dan
licin.
Jika tidak hati-hati dan teliti akan bisa menjemuruskan keberadaan kita
sendiri. Oleh karenanya, Ahmad Syafii Maarif pernah berujar bahwa
politik itu pada dasarnya menjaga jarak, sedangkan dakwah itu merangkul.
Artinya, dunia politik akan bisa menjadikan orang yang satu barisan dengan kita
untuk bermusuhan jika terjadi perbedaan kepentingan. Berbeda dengan jalur
dakwah yang tidak akan melihat siapa kawan dan siapa lawan, semuanya bisa
dirangkul demi tegaknya *amar makruf nahi munkar*.
Menyangkut hal ini, catatan sejarah akan keterlibatan Muhammadiyah
dalam politik praktis rasanya cukup memberikan pelajaran yang penting bagi
kita, bagaimana tergelincirnya Muhammadiyah dalam ruang politik yang akhirnya
tidak membawa manfaat bagi Muhammadiyah dan bangsa ini secara luas.
Mulai dari keterlibatan Muhammadiyah dalam Masyumi, Perti, dan Sekber Golkar.
Untuk itu, dalam menghadapi iklim politik 2009, sebagai warga
Muhammadiyah kita tentunya tetap memiliki harapan agar Muhammadiyah
tetap berada di garda terdepan dalam menuntun moralitas dan perilaku politik publik agar terwujud masyarakat *baldatun tayyibatun warabbun ghafur* sebagaimana tujuan
dari Muhammadiyah.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, setidaknya warga Muhammadiyah dalam
menghadapi pemilu 2009 tidak mudah tergelincir dengan tampilan-tampilan
kepentingan seseorang atau sekelompok orang yang nyata-nyatanya bisa
menjemuruskan cita-cita Muhammadiyah. Ada pelajaran penting yang bisa
kita petik dari pemilu tahun 2004 sebagai pelajaran bagi kita dalam
menghadapi pemilu 2009.
Pertama, tetap *istiqamah* dengan perjuangan dakwah atau gerakan
kultural Muhammadiyah tanpa menunjukkan keterlibatan atau keberpihakan
Muhammadiyah, terutama sekali pucuk pimpinan Muhammadiyah terhadap salah satu parpol
sebagaimana arahan PP Muhammadiyah dalam menghadapi pemilu 2009. Kedua,
menjauhkan warga Muhammadiyah dari berbagai rayuan politik uang maupun
kepentingan politik berjangka pendek demi kepentingan satu kelompok
atau parpol tertentu.
Ketiga, memilih kepemimpinan nasional baik untuk legislatif maupun
eksekutif yang jujur, amanah, memiliki integritas moral dan intelektual yang
tinggi, adil dan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan nasional secara
luas.
Keempat, menjaga aset dan segala bentuk amal usaha Muhammadiyah dari
kepentingan politik praktis perseorangan maupun kelompok. Kelima, tetap
menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas, etika, kesopanan dan keadaban
yang dapat menciptakan kondisi tenang, aman, dan tenteram bagi kehidupan
kita berbangsa secara luas.
*Ikhtisar:*
- Manuver dan pernyataan petinggi Muhammadiyah dapat mencederai
cita-cita dan idealisme organisasi tersebut.
- Politik pada dasarnya menjaga jarak, sedangkan dakwah merangkul.
- Muhammadiyah harus tetap berada di garda terdepan menuntun moralitas
dan perilaku politik publik.
sumber :
Republika, Jumat, 24 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar