Oleh : Ahmad-Norma Permata
Pendiri Muhammadiyah Cabang Istimewa Jerman, Meraih Doktor Ilmu
Politik dari Universitas Muenster
Mudah
diramalkan jika setiap menjelang pemilihan umum (pemilu) Muhammadiyah
selalu menjadi sasaran kampanye politik. Hal ini wajar karena
Muhammadiyah merupakan salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini,
yang tidak hanya memiliki puluhan juta anggota dan simpatisan,
melainkan juga sumber daya organisasi yang kaya.
Menariknya,
eksploitasi potensi politik Muhammadiyah tidak hanya dilakukan oleh
agen-agen dari luar, melainkan juga dari dalam organisasi ini sendiri.
Langkah yang paling spektakuler sekaligus kontroversial barangkali
keputusan Amien Rais yang kala itu adalah ketua umum PP Muhammadiyah
mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998. Meski PAN secara
oganisatoris adalah partai terbuka dan tidak memiliki hubungan formal
dengan Muhammadiyah, realitasnya partai ini banyak bersandar pada
Muhammadiyah dalam rekrutmen kader (leadership recruitment) maupun
pemilih (electoral constituents).
Keputusan
menarik Muhammadiyah ke lintasan politik telah menimbulkan pro dan
kontra berkepanjangan. Sebagian aktivis menolak karena politisasi akan
sekadar menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan politik serta
memasukkan benih-benih partisanisme ke dalam organisasi yang akan
menghasilkan perpecahan.
Namun, tidak kurang juga yang
mendukung langkah itu karena meyakini bahwa misi Muhammadiyah adalah
dakwah dan politik merupakan salah satu medan dakwah. Karena itu
Muhammadiyah tidak perlu alergi dengan politik.Lima tahun kemudian
menjelang pemilu 2009 dorongan politisasi dari dalam organisasi kembali
menguat. Tahun 2007 yang lalu sejumlah kader muda mendirikan Partai
Matahari Bangsa (PMB) yang tampaknya juga akan menjadikan Muhammadiyah
sebagai ladang politik.
Lebih seru lagi, beberapa hari
belakangan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berkali-kali
muncul di media massa mengindikasikan keinginannya untuk dicalonkan di
kancah pemilihan presiden. Tidak terhindarkan lagi, perkembangan ini
akan memicu kembali pro-kontra lama yang belum sepenuhnya reda.
Kembali ke barak
Dalam
perspektif yang lebih luas, pro-kontra terhadap politisasi Muhammadiyah
bukan sekadar persoalan internal organisasi, melainkan persoalan
fundamental yang menyangkut masa depan demokratisasi di negeri ini.
Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi masyarakat sipil (ormas) yang
fungsinya adalah menyediakan ruang publik yang melindungi masyarakat
dari intervensi politik negara. Malahan Muhammadiyah juga berjasa
menyediakan berbagai layanan publik, seperti sekolah, panti asuhan, dan
rumah sakit yang tidak terjangkau negara.
Memang bukan berarti
ormas tidak memiliki peran politik. Terutama dalam masyarakat yang
sedang menjalani proses demokratisasi, ormas memiliki peran politik
strategis. Sebagaimana yang terjadi di banyak negara, ormas selalu
memainkan peran vital dalam proses transisi politik dari authoritarian
menuju demokrasi. Mereka menjadi agen utama dalam upaya meruntuhkan
tembok otoritarian dan membangun fondasi demokrasi.
Namun, sejatinya politik praktis bukanlah habitat ormas. Secara teori,
fungsi ormas menyuarakan (representing)
kepentingan masyarakat. Ormas cenderung konsisten dengan visi dan
misinya, tanpa banyak terpengaruh oleh aktivitas ormas lain maupun
perubahan iklim politik. Muhammadiyah, misalnya, senantiasa fokus pada
kegiatan mendakwahkan Islam modernis tanpa banyak terpengaruh oleh
perubahan rezim politik.
Ini kontras dengan perilaku organisasi
politik (orpol) yang selalu berubah orientasi seiring dengan perubahan
tren dan situasi. Fungsi orpol adalah mengolah (aggregating)
kepentingan. Orpol bertugas menyediakan pilihan kebijakan (policy
packages) yang mampu merangkum berbagai kepentingan yang ada di
masyarakat. Wajar apabila orpol meskipun memiliki bendera ideologi dan
platform politik selalu mengusung diskursus yang silih berganti. Ini
karena
memang tuntutan kepentingan yang berubah. Seperti kata pepatah, bagi
orpol tidak ada kawan atau lawan sejati karena yang sejati adalah
kepentingan.
Dalam konteks perkembangan lebih lanjut dari proses
demokratisasi inilah menjadi sangat penting bagi Muhammadiyah untuk
menjauhkan diri dari politik partisan, kembali ke barak memainkan
fungsi ormas sebagai penjaga ruang publik yang kalis dari partisan
politik. Konsolidasi demokrasi tidak hanya memerlukan orpol yang
efektif mengagregasi dinamika kepentingan, melainkan juga ormas yang
teguh menjaga nilai-nilai ideal agar tidak larut dalam pusaran
kepentingan.
Institusionalisasi aturan main
Dengan
banyaknya jajaran kader dan pimpinan yang berlompatan ke perahu politik
yang lebih megah dan mewah, tidak mudah bagi Muhammadiyah untuk
berteguh diri memainkan fungsi ormas. Pertama, secara doktriner banyak
warga Muhammadiyah yang meyakini bahwa dakwah adalah aktivitas
multidimensi, termasuk mencakup politik. Mereka ini masih percaya bahwa
politik adalah medan dakwah meski kenyataan selama ini menunjukkan
agama sering dimainkan sebagai komoditas politik.
Kedua, secara
sosial ekonomi di mana patronase politik merupakan jalan paling cepat
meski mungkin tidak yang termudah untuk mendapatkan penghasilan
finansial. Karena itu banyak yang tetap berpaling ke politik, baik
untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan organisasi.Sudah ada suara
di kalangan Muhammadiyah untuk mencari figur pimpinan yang tahan
godaan jabatan politik. Namun, dalam telaah yang lebih cermat fenomena
lintas pagar dari ormas ke orpol ini bukan hanya karena faktor
individual, melainkan juga karena ada insentif institusional.
Di
Indonesia, orang masih sangat mudah membuat partai politik. Jika
cadangan dana besar, para bandar politik dengan mudah membuat parpol
baru dan merekrut kader-kader politik mereka dari berbagai ormas yang
ada.Galibnya hal ini bukan semata problem internal organisasi
Muhammadiyah, melainkan terkait dengan sistem politik yang lebih besar,
yaitu upaya institusionalisasi system politik. Dalam sistem demokrasi
yang stabil, parpol adalah aktor utama permainan politik, sedangkan
ormas bertugas mengawasi perilaku politik dan kebijakan pemerintah yang
tidak menyuarakan kepentingan rakyat.
Parpol yang mapan memiliki
sistem rekrutmen dan pengaderan yang terstruktur dan berjenjang, dan
bukan dengan main comot individu dari luar organisasi. Upaya untuk
meningkatkan syarat pembentukan parpol, seperti menaikkan jumlah
minimal cabang atau menambah electoral threshold menjadi
sangat penting untuk menjadikan parpol organisasi yang stabil dengan
orientasi jangka panjang. Sekaligus mencegah aktor politik dengan mudah
membentuk parpol dan main comot dari ormas.
sumber :
mailis M_S@yahoogroups.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar